Dr Siprianus Edi Hardum SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Sampai saat ini keberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara illegal ke berbagai negara masih marak terjadi. Hal ini karena disebabkan banyak hal, salah satunya masih banyak oknum aparat keamanan dan pejabat Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengambil untung dalam pengiriman PMI secara illegal.
Hal ini dikatakan Pengamat Ketenagakerjaan Dr Siprianus Edi Hardum SIP SH MH kepada media, Selasa (29/11/2022). Pada 17 Oktober 2022, pihak Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) menggagalkan penempatan 38 PMI secara illegal ke Timur Tengah (Tinteng).
Pada 15 November 2022, kapal speedboat yang membawa Warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga Calon PMI yang akan berangkat ke Malaysia secara illegal tenggelam di Batam. Sampai dengan November 2022 ini, Nusa Tenggara Timur (NTT) menerima 96 jenazah PMI illegal yang mati di luar negeri.
Tahun 2021, ada 121 orang PMI illegal yang mati di luar negeri. “Berdasarkan catatan media lokasi di NTT tiap tahun NTT menerima minimal 100 mayat PMI illegal yang mati di luar negeri,” katanya.
Menurut Edi, beberapa berita tersebut merupakan sebagian kecil dari begitu banyak baik di media massa maupun di media sosial mengenai calon PMI illegal yang akan berangkat ke luar negeri. “Kemnaker RI sering mengeluarkan siaran pers soal operasi penangkapan menggagalkan pemberangkatan PMI illegal, namun tidak pernah ada siaran pers siapa yang mengirimkannya serta apa sanksi yang diberikan kepada para pelaku. Saya menduga ada oknum di Kemnaker RI yang ambil untung akan hal ini,” kata penulis buku “Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI” ini.
Alumnus Strata-3 (S-3) Ilmu Hukum dari Universitas Trisakti ini mengatakan, masih maraknya pengiriman PMI illegal ini ada faktor utama yakni pertama, faktor pendorong. Menurut Alumnus Strata-2 (S-2) Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, faktor yang mendorong begitu banyak orang bekerja di luar negeri walaupun modal nekad dan tanpa melalui prosedur adalah kemiskinan.
Orang-orang yang rela menjadi PMI di luar negeri walaupun penuh resiko pasti berasal dari daerah di Indonesia yang angka kemiskinannya tinggi, seperti dari Jawa Barat (Jabar) khususnya Kabupaten Indramayu, Cianjur, Tasik Malaya; dari Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT. Faktor kedua, kata Edi, adalah faktor penarik, yakni banyaknya kebutuhan akan tenaga kerja di sejumlah negara. Seperti di Negara-negara Timteng dan Asia Pasifik seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan Taiwan membutuhkan banyak pekerja rumah tangga (PRT) atau domestic worker dan Malaysia membutuhkan tenaga kerja untuk kebun kelapa sawit, dan lain-lain.
Faktor lain, menurut Edi, begitu banyaknya oknum aparat keamanan dan pejabat Pemerintah RI yang diduga mengambil untung atas pengiriman PMI secara illegal. Seperti di pelabuhan penyeberangan di Batam dan Riau, patut diduga ada banyak oknum aparat keamanan yang bermain.
Entah itu oknum dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) maupun oknum dari Polisi Republik Indonesia (Polri) atau Polisi Air (Polair). Sedangkan dari pejabat negara, kata Edi, patut diduga pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) dan oknum dari Kemnaker RI.
“Untuk itu, saya minta Menteei Ketenagakerjaan (Menaker) RI dan semua kepala daerah harus awasi kinerja anak buah terutama terkait pengiriman PMI ke luar negeri,” pesannya.
Solusi
Menurut Edi, untuk mencegah pengiriman PMI illegal ke luar negeri, solusinya pertama, evaluasi dan perbaiki tata kelola perizinan dan pengawasan pengiriman PMI. Terkait hal ini, Edi mendesak Presiden RI Ir H Joko Widodo (Jokowi) agar mengevaluasi program Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang sampai saat ini sudah menjangkau sekitar 250 desa di Indonesia.
“Program Desmigratif ini sepertinya tidak jalan, terbukti masih maraknya PMI illegal. Sepertinya program Desmigratif hanya untuk habiskan anggaran dan untuk kepentingan partai politik (parpol) tertentu saja,” kata Advokat senior dari Edi Hardum and Partners Law Firm ini.
Menurut Edi, program Desmigratif dicanangkan untuk mencegah PMI illegal, tetapi ternyata PMI illegal tetap marak. “Kalau marak seperti ini, hapus saja program Desmigratif,” kata Edi.
Kedua, sambungnya, semua lembaga negara dan Pemerintah RI mulai dari Pemda, Kemnaker RI, Badan Pelindungan dan Penempatan Migran Indonesia (BP2MI), pihak Imigrasi, otoritas pelabuhan, TNI dan Polri harus memunyai tekad yang sama untuk mencegah pengiriman PMI illegal. “Percuma juga kalau Kemnaker RI dan BP2MI-nya saja yang berkomitmen memberantas dan mencegah PMI illegal, tetapi lembaga lain ambil untung,” kata Edi.
Ketiga, imbuhnya, Pemerintah RI terutama Pemda harus menciptakan lapangan pekerjaan di daerah, agar masyarakat tidak nekad keluar daerah, apalagi keluar negeri untuk mencari pekerjaan. “Semua kabupaten seharusnya membangun Balai Latihan Kerja (BLK) untuk cetak tenaga kerja terampil dan wirausahawan,” ungkapnya.
Keempat, lanjutnya, aparat penegak hukum seperti Polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kemnaker RI harus tegas menindak pelaku pengiriman PMI illegal. (Murgap)