Oleh : Dr Wirawan B Ilyas Ak SH MH MSi CPA CPI
Pengantar
Kebijakan pembiayaan kegiatan perusahaan dapat ditempuh baik melalui Debt Financing maupun Equity Financing atau kombinasi keduanya. Kebijakan apa yang dipilih oleh manajemen, pada hakekatnya tergantung pada kegiatan proyek yang akan dibiayai, apakah kegiatan yang menghasilkan return (pengembalian) dalam jangka pendek, menengah atau panjang yang dituangkan dalam bentuk studi kelayakan, sehingga berdasarkan studi kelayakan tersebut, manajemen perusahaan dan lembaga pembiayaan dapat menentukan pola pembiayaan yang paling tepat untuk proyek atau kegiatan bisnis tersebut.
Pada intinya, saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik perusahaan maupun lembaga atau perusahaan pembiayaannya. Tentu setiap lembaga pembiayaan sudah memiliki peraturan Standar Operating Procedure (SOP) yang baku berbasis tata kelola yang baik, mencakup sistem pengendalian internal dan manajemen resiko, sehingga setiap resiko yang mungkin terjadi sudah diperhitungkan dengan sebaik-baiknya.
Perlu dipahami, meskipun semua kemungkinan resiko sudah diperhitungkan sebaik-baiknya, bukan berarti resiko tersebut tidak akan terjadi. Setiap kegiatan pembiayaan pasti mengandung resiko.
Dunia bisnis adalah dunia yang penuh dengan berbagai resiko. Untuk itu lah, perlu dilakukan mitigasi resiko dengan berbagai pendekatan.
Lembaga pembiayaan pasti sudah mempunyai kebijakan terkait dengan mitigasi resiko, termasuk menutupnya melalui asuransi dan jaminan kredit. Terdapat berbagai perusahaan atau lembaga pembiayaan yang ada saat ini, antara lain Perbankan, Multifinance dan Lembaga khusus yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) yaitu Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Dari namanya jelas, bahwa LPEI diperuntukan khusus untuk pembiayaan kegiatan ekspor sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI.
Peran Strategis LPEI
LPEI sebagai lembaga yang seratus persen dimiliki oleh Pemerintah RI yang modalnya tidak terbagi atas saham, berperan mendukung program ekspor nasional, melalui pembiayaan, asuransi dan penjaminan yang diberikan kepada debitur export atau indirect export, baik level korporasi maupun level Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan juga aktif memberikan jasa konsultasi bagi pelaku UMKM. Mengingat tugas yang diemban LPEI sangat mulia, maka LPEI merupakan lembaga pembiayaan yang khusus dibentuk dengan UU khusus pula (Lex Specialis).
Sebagai lembaga pembiayaan ekspor yang sifatnya khusus, berbeda dengan lembaga perbankan pada umumnya, LPEI menyediakan berbagai jasa konsultasi untuk perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor. Jasa tersebut mencakup training (pelatihan) dan bimbingan kepada wiraswasta yang berorientasi ekspor.
Tugas yang sangat mulia diemban oleh LPEI patut kita dukung, karena menjual produk ke pasar luar negeri (ekspor) relatif sulit dibandingkan dengan menjual ke pasar dalam negeri. Di samping ekspor merupakan kegiatan menghasilkan devisa, juga berperan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang tercermin pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan sekaligus membuka lapangan kerja baru serta menghidupkan sektor ekonomi ikutannya (trickle down effect).
Justru semakin besar nilai ekspor suatu negara, maka kepercayaan luar negeri kepada negara tersebut semakin tinggi, bahkan kemampuan pembayaran utang luar negeri suatu negara yang dilihat dari rasio cicilan utang termasuk bunga dibandingkan dengan nilai ekspornya juga semakin tinggi. Jadi dapat dikatakan para eksportir merupakan pahlawan ekonomi bangsa sesungguhnya.
Untuk itu, negara wajib mendorong, memfasilitasi dan mempermudah segala liku-liku kegiatan ekspor, khususnya pembiayaan dan penjaminan seperti yang diemban LPEI.
Aspek Hukum
Dalam kasus LPEI, penulis tidak menegaskan pentingnya pidana, namun jika persoalan pinjam meminjam (pembiayaan), persoalan keperdataan yang menjadi inti permasalahan hukumnya ditarik ke ranah pidana, justru contra productive terhadap lingkungan bisnis. Harus diciptakan lingkungan bisnis yang kondusif.
Perlu diingat, ketidakpastian di lingkungan global yang tengah terjadi saat ini dan kecenderungan di masa datang yang bersifat uncontrollable (tidak terkontrol), justru harus diimbangi dengan lingkungan nasional yang berkepastian, salah satunya kepastian hukum. Tujuan hukum memberikan kepastian, di samping keadilan dan kemanfaatan.
Dunia bisnis butuh kepastian, sehingga dapat memperkecil resiko.
Pengalaman penulis sebagai Ahli dalam persidangan di beberapa Pengadilan Negeri (PN) selama ini, terkait kasus kredit macet yang dialami oleh debitur yang dibiayai oleh bank pemerintah, terdapat kesan masih kurangnya pemahaman oleh berbagai pihak dalam hal pinjaman yang diberikan kepada debitur oleh lembaga pembiayaan pemerintah yang selalu dikaitkan dengan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Sebagai contoh, PT ABC mendapatkan kredit dari bank swasta, dalam perjalanannya, PT ABC mengalami kesulitan likuiditas karena kondisi bisnis, sehingga kemampuan membayar pokok dan bunganya terganggu. Oleh bank swasta tersebut dilakukan restrukturisasi kredit sesuai SOP yang berlaku.
Hal yang sama dialami oleh PT XYZ, di mana pembiayaannya diberikan oleh bank pemerintah. PT XYZ sebagai debitur yang mengalami kesulitan keuangan karena situasi bisnis yang tidak kondusif yang sifatnya uncontrollable bagi direksi.
Kemudian, PT XYZ mengajukan permohonan restrukturisasi kredit, justru berakibat fatal yang akhirnya, direksi PT XYZ dan pejabat divisi kredit bank pemerintah tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini karena status bank pemerintah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kredit macet merupakan kerugian keuangan negara, sehingga terlihat perlakuan hukum yang berbeda antara kredit macet yang terjadi pada bank swasta dengan bank pemerintah. Padahal, secara bisnis, hal tersebut sesungguhnya sama, dasarnya adalah perjanjian yang merupakan ranah keperdataan.
Dari sisi Akuntansi Keuangan, pemberian kredit merupakan utang piutang biasa, sehingga bagi bank pemberi kredit tetap merupakan sebagai aset, yaitu Piutang Pinjaman, bukan merupakan kerugian. Begitu juga bunga yang belum dibayar oleh debitur dibukukan sebagai pendapatan bunga tetapi belum diterima uangnya, dan dibukukan sebagai Piutang Bunga (aset) oleh bank.
Dengan demikian, tidak ada kerugian di pihak bank pemberi kredit tersebut, apalagi pemberian pinjaman kredit oleh bank, wajib ada jaminan yang nilainya mengcover (melindungi) nilai pinjaman tersebut. Sesungguhnya dan kenyataannya tidak ada kerugian yang diderita oleh bank sama sekali.
Apalagi, prosedur pemberian kredit sudah melalui tahapan yang ketat, tunduk pada SOP, dengan tata kelola dan internal control system yang baik. Dengan demikian, baik bank maupun perusahaan debitur sudah sesuai dengan doktrin Business Judgement Rule (BJR).
Sepanjang direksi mengambil keputusan berpedoman pada doktrin BJR, maka mereka terlindung dari tindak pidana. Dalam hal keputusan direksi merupakan keputusan bisnis, untuk kepentingan bisnis perusahaan semata, dan beritikad baik, dan tidak ada konflik kepentingan, hukum akan melindunginya.
UU sudah dengan tegas memberikan perlindungan, karena entitas bisnis memang entitas yang penuh resiko. Jika tidak ada doktrin BJR, dapat dipastikan, direksi tidak akan berani mengambil keputusan, maka bisnis tidak akan jalan, justru akan merugikan negara.
Simpulan
Pembiayaan kredit ekspor merupakan kebijakan yang amat strategis dalam upaya meningkatkan perekonomian negara. Untuk itu, negara harus mengambil peran aktif dan memberi kemudahan di segala aspek termasuk tingkat bunga yang relatif rendah, prosedur yang tidak berbelit.
Seandainya terjadi keterlambatan pembayaran kembali pokok pinjaman dan bunga, maka berbagai solusi juga tersedia. Pemberian pinjaman atau kredit merupakan hubungan keperdataan murni dan sesuai dengan tata perkreditan yang sudah diatur secara baku.
Dari sisi Akuntansi Keuangan, pemberian kredit dan bahkan kredit macet pun, bukanlah merupakan kerugian bagi pihak bank atau Lembaga Pembiayaan. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam oleh berbagai pihak atas pembiayaan kredit oleh bank pemerintah dan LPEI perlu mendapat perhatian serius demi Indonesia maju.
Penegakan hukum harus dilihat dalam konteks yang luas, karena hukum juga bertujuan kemanfaatan untuk ekonomi nasional. *** (Penulis adalah Akuntan Forensik, Praktisi Hukum dan Akademisi)
Curriculum Vitae singkat
Dr Wirawan B Ilyas Ak SH MSi MH CPA CPI
Lulusan S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) tahun 1984, melanjutkan S-2 Bidang Administrasi Pajak UI lulus tahun 1998 dan Doktor (S-3) Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Selain itu, mengikuti Pendidikan S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Program Ekstensi dan memperoleh Magister Hukum (Hukum Bisnis) dari FH Unpad Bandung.
Bekerja sebagai Praktisi yaitu Akuntan Publik, Konsultan Pajak dan Advokat. Selain itu, aktif sebagai Dosen pada Program Pasca Sarjana Program Studi (Prodi) Magister Akuntansi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Dosen Tamu pada FH Unpad Bandung.
Aktif menulis artikel di berbagai Koran, Jurnal, dan Buku text di bidang Akuntansi, Hukum Pajak dan Hukum Bisnis.