Adi Atmaka SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara Tipikor di tubuh PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan PT Askrindo Mitra Utama (AMU) yang merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp604.635.082.035,00 (enam ratus empat miliar enam ratus tiga puluh lima juta delapan puluh dua ribu tiga puluh lima rupiah) di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis siang (08/09/2022).
Agenda sidang pada hari ini adalah pembacaan putusan final majelis hakim terhadap ketiga terdakwa dalam perkara ini yaitu Wahyu Wisambada selaku mantan Karyawan PT AMU dan mantan Direktur Pemasaran PT AMU, Firman Berahima selaku mantan Karyawan PT Askrindo dan mantan Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia (SDM) PT Askrindo, dan Anton Fajar Alogo Siregar selaku Direktur Operasional Ritel PT Askrindo sekaligus Komisaris PT AMU. Untuk terdakwa Wahyu Wirasambada selaku mantan Karyawan PT AMU dan mantan Direktur Pemasaran PT AMU dijatuhi hukuman penjara selama 8 (delapan) tahun dan membayar uang denda kepada negara sebesar Rp500 juta.
Sementara, untuk terdakwa Firman Berahima selaku mantan Karyawan PT Askrindo dan mantan Direktur Kepatuhan dan SDM PT Askrindo dijatuhi hukuman penjara selama 4 (empat) tahun dan membayar uang denda kepada negara sebesar Rp500 juta dan terdakwa Anton Fajar Alogo Siregar dijatuhi vonis hukuman penjara empat tahun dan membayar uang denda kepada negara sebesar Rp500 juta.
Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) duduk perkara para tersangka yakni dalam kurun waktu antara tahun 2016 hingga 2020, terdapat pengeluaran komisi agen dari PT Askrindo kepada anak usaha yaitu PT AMU secara tidak sah, yang dilakukan dengan cara mengalihkan produksi langsung PT Askrindo menjadi seolah-olah produksi tidak langsung melalui PT AMU. Sebagian di antaranya dikeluarkan kembali ke oknum di PT Askrindo secara tunai, seolah-olah sebagai beban operasional tanpa didukung dengan bukti pertanggungjawaban atau dilengkapi dengan bukti pertanggungjawaban fiktif.
Para terdakwa disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Umdamg-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kuasa Hukum terdakwa Wahyu Wisambada selaku mantan Karyawan PT AMU dan mantan Direktur Pemasaran PT AMU, Adi Atmaka SH MH mengatakan, dalam Nota Pembelaan (Pledoi), faktanya kliennya disuruh untuk menggunakan dana operasional PT Askrindo atas perintah atasannya di PT Askrindo.
“Kenapa tidak ada pertimbangan oleh majelis hakim dari isi Nota Pledoi kami itu?,” tanyanya heran kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, dengan dikesampingkan Nota Pledoinya dalam putusan final majelis hakim ini, akan dibicarakan dengan keluarga terdakwa Wahyu Wisambada untuk melakukan memory banding atau tidak. “Saat ini, pilihan kami masih pikir-pikir,” terangnya.
Ia menegaskan, pihaknya berketetapan pada Nota Pledoi, bahwa sebagai karyawan PT AMU dan merupakan anak perusahaan dari PT Askrindo, kliennya melakukan bagi-bagi uang operasional untuk kegiatan entertainment seperti spa, karaoke dan main golf karena atas perintah dari atasannya di PT Askrindo. “Saat pencairan uang operasional tersebut seizin komisaris. Dalam hal ini, klien saya tidak ada niatan untuk memperkaya diri sendiri,” jelasnya.
Terkait ada skema pembagian komisi agen 4% untuk PT Askrindo, 3% untuk PT AMU dan 3% lagi untuk perusahaan rekanan lainnya berdasarkan atas perintah dari atasan kliennya di PT Askrindo. “PT Askrindo sebagai unit perusahaan PT AMU,” ungkapnya.
“Kalau kita mengambil sikap tetap pada Nota Pledoi kami yang sesuai fakta persidangan,”
tukasnya.
Intinya, sambungnya, dari fakta persidangan, bahwa PT AMU sebagai anak perusahaan dari PT Askrindo dan kliennya hanya menjalankan sesuai perintah dari PT Askrindo. “Tidak ada niatan kliennya ingin memperkaya diri sendiri dengan adanya skema pembagian komisi agen 4%, 3% dan 3% atau mengambil keputusan sendiri dengan adanya skema tersebut,” ulasnya.
“Uang operasional PT AMU yang diduga dikorupsi oleh kliennya tidak ada yang dinikmati oleh klien saya. Malah dinikmati oleh pihak lain di PT Askrindo. Biaya operasional perusahaan PT Askrindo digunakan oleh pihak-pihak yang belum disidangkan dalam perkara ini,” katanya.
Menurutnya, jelas dalam putusan final majelis hakim, bahwa uang operasional itu digunakan oleh pihak-pihak PT Askrindo atau Kantor Cabang (Kacab) PT Askrindo lainnya. “Tapi orang-orang dari PT Askrindo tersebut tidak diproses ke meja hijau,” ujar Adi Atmaka SH MH dari Kantor law firm Adi Atmaka and Partner yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat (Jabar) itu.
Dikatakannya, pertimbangan putusan majelis hakim harus melihat fakta hukum untuk menentukan berat ringannya sebuah perkara. “Kalau klien saya ini kan sesuai tuntutan JPU 8 tahun hukuman vonis penjara dan diputus oleh majelis hakim juga 8 tahun penjara. Harusnya ada fakta hukum yang menjadi pertimbangan majelis hakim,” urainya.
“Bahan pertimbangan yang harusnya didengar oleh majelis hakim, bahwa klien saya menjalankan perintah sesuai arahan dari induk perusahaan yakni PT Askrindo,” tandasnya. (Murgap)