Oleh : Dr Wirawan B Ilyas Ak SH MSi MH CPA
Pengantar
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara yang terjadi secara berkesinambungan menuju kondisi yang lebih baik selama periode tertentu, yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional, sehingga dengan adanya pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi di negara itu, di samping ukuran lainnya, seperti pemerataan. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara, antara lain sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), sosial budaya (Sosbud) dan modal.
Kebijakan dan strategi bauran dari faktor-faktor tersebut amat penting dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan nasional. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam menghitung pendapatan nasional dengan menggunakan model pengeluaran yang dilakukan oleh 4 (empat) pelaku kegiatan ekonomi dalam suatu negara, yaitu rumah tangga (konsumsi), pemerintah (belanja pemerintah), investasi dan perdagangan internasional (selisih antara nilai ekspor dikurangi dengan nilai impor).
Pada hakekatnya manusia tidak dapat memenuhi segala kebutuhannya atas barang dan jasa secara mandiri, diperlukan interaksi, pertukaran antar manusia. Dengan demikian, menimbulkan aktivitas perdagangan, baik skala nasional maupun internasional.
Perdagangan skala nasional relatif mudah dibandingkan dengan perdagangan internasional (International Trade).
Perdagangan Internasional
Semula terjadinya perdagangan internasional disebabkan adanya comparative advantage antar negara (David Ricardo,1772-1823), kemudian bergeser menjadi competitive advantage dalam global marketing (Michael Porter, 1985). Perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar negara yang biasanya dilakukan dengan cara ekspor dan impor yang tergambar dalam neraca perdagangan antar negara (balance of trade).
Suatu negara dapat memiliki Surplus Neraca Perdagangan (SNP) atau Defisit Neraca Perdagangan (DNP). SNP menunjukkan keadaan di mana negara tersebut memiliki nilai ekspor yang lebih besar dari nilai impor yang dilakukan dari negara trade partner, yang mengakibatkan aliran kas masuk (valuta asing atau valas) ke dalam perekonomian negara akan lebih besar daripada aliran valuta asing ke luar ke negara trade partner, dengan asumsi keadaan lain konstan.
Bagi Indonesia, kalau mengalami SNP implikasinya akan meningkatkan nilai tukar rupiah menjadi lebih baik. Di samping itu, ekspor yang meningkat melebihi impor secara agregate nasional akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan nasional.
Untuk itulah diperlukan gerakan nasional untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi impor yang salah satunya melakukan swasembada pangan nasional. Penulis mengutip kuliah yang diberikan oleh Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) dalam mata kuliah Perekonomian Indonesia tahun 1980, bahwa Ekspor merupakan variabel yang penting dalam model ekonomi makro sebagai pembentuk pendapatan nasional.
Bahkan beliau menyatakan, lebih lanjut, jika suatu negara mau maju, justru harus mengambil peran besar dalam pasar global dengan strategi kebijakan ekonomi outward looking, sehingga aliran uang dari luar negeri akan mengalir masuk ke dalam sistem perekonomian nasional. Hal ini akan berimbas positif terhadap kegiatan ekonomi ikutannya di dalam negeri seperti sektor manufaktur, pertanian, perkebunan, jasa dan lain sebagainya (trickle down effect) yang dapat membuka lapangan kerja yang luas.
Rantai ekonomi akan hidup, sehingga tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat meningkat sesuai cita-cita kemerdekaan bangsa.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
Dunia usaha sangat berharap dengan berbagai kemudahan pembiayaan, mengingat setelah meleburnya Bank Ekspor Impor menjadi Bank Mandiri, praktis tidak ada satupun lembaga pembiayaan yang khusus fokus pada pembiayaan ekspor dengan cost of fund (biaya pengembalian) yang relatif murah, untuk dapat mendorong dunia usaha meningkatkan ekspornya ke berbagai negara. Di satu sisi ekspor berperan strategis dalam perekonomian suatu negara dan di sisi lain berbagai variabel yang sangat komplek menyelimuti perdagangan internasional seperti sistem kuota, hubungan politik antar negara, sistem hukum masing-masing negara dan tingkat persaingan yang amat tajam.
Maka, pemerintah berusaha melakukan berbagai terobosan, salah satunya membentuk suatu skema khusus dalam pembiayaan ekspor dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2009 tentang LPEI. Adapun konsideran dari UU LPEI, pertama, bahwa sektor perdagangan luar negeri merupakan salah satu faktor penunjang pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas perekonomian nasional untuk meningkatkan kesejahteraan, kemajuan dan kemandirian bangsa.
Kedua, bahwa untuk mempercepat pertumbuhan perdagangan luar negeri Indonesia dan meningkatkan daya saing pelaku bisnis, diperlukan suatu lembaga pembiayaan independen yang mampu menyediakan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa lainnya. Artinya, pemerintah sangat menyadari, bahwa pembiayaan ekspor merupakan hal yang sangat krusial, sehingga perlu dibuat UU khusus pembiayaan ekspor yang mencakup, baik pembiayaannya maupun penjaminan dan asuransi dan jasa lainnya yang berkaitan dengan ekspor secara terpadu.
Sebagai UU yang Lex Specialis secara hukum berbeda dengan hukum pembiayaan (trade financing) biasa yang dilakukan oleh perbankan komersil yang sudah ada.
Hukum Ekonomi Vs Pidana
Kasus yang melibatkan 8 (delapan) orang terdakwa dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI yang baru-baru ini mulai disidangkan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas dugaan korupsi dengan persangkaan yang didakwakan adalah kerugian keuangan negara menarik untuk dikaji dari sisi akademik Hukum Ekonomi. Memahami UU No 2 tahun 2009 harus menggunakan kacamata hukum yang luas, bukan kacamata UU semata, perlu pemahaman filosofi hukum, sosiologi hukum, hukum yang hidup dalam dinamika masyarakat bisnis dan tataran ekonomi global (living law).
UU LPEI menuliskan, bahwa LPEI merupakan lembaga independen dengan status sovereign (berdaulat). Kenapa status ini dibuat khusus?
Jawabannya karena ekspor perlu pembiayaan khusus. Filosofi Hukum dan Ekonomi atas keberadaan LPEI sangat jelas dalam penjelasan UU Nomor 2 tahun 2009, bukan dalam batang tubuhnya.
Status sovereign membawa konsekuensi hukum adanya kewajiban pemerintah untuk menutupi kekurangan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku dalam rangka pembiayaan ekspor. Pertanyaannya, apakah dengan pemberian status khusus tersebut hukum pidana menjadi tidak diberlakukan?
Jawabannya, membaca pidana tidak hanya membaca teks, sekalipun itu diatur pada Pasal 43 UU Nomor 2 tahun 2009, karena cara berfikir demikian terlalu sempit. Jika terjadi kesalahan pengelolaan yang dijalankan oleh pejabat LPEI tidak harus pidana, solusinya kita harus memahami tugas mulia yang dijalankan oleh LPEI yaitu LPEI merupakan agen pemerintah yang sengaja dibentuk untuk memberi pembiayaan yang tidak dimasuki oleh bank atau lembaga pembiayaan komersil.
Doktrin hukum ultimum remedium perlu di kedepankan dalam Hukum Ekonomi. Penulis tidak bermaksud mengabaikan pentingnya pidana dalam kehidupan bernegara, tetapi semata-mata mengkaji secara akademik keilmuan Hukum Ekonomi, karena jika persoalan keperdataan yang menjadi inti masalah hukumnya sudah tepat.
Kenapa ditarik ke ranah pidana?Apalagi, konteksnya dalam rangka meningkatkan ekspor yang merupakan kegiatan menyukseskan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Negara yang maju adalah negara yang dapat menguasai pasar dunia melalui ekspor secara berkelanjutan. Ke depan, para pelaku usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) haruslah menjadi pelaku ekspor, bersaing di tingkat dunia sebagai pahlawan devisa negara.
Dugaan pidana korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional, dalam kacamata hukum, jelas tidak tepat, sedikitnya ada empat alasan yakni pertama, penegak hukum tidak memahami betul filosofis keberadaan UU Nomor 2 tahun 2009; Kedua, tugas mulia LPEI menjadi lumpuh, jika pidana dijadikan dasar mengusut unsur kerugian keuangan negara.
Ketiga, ruang perdebatan kerugian keuangan negara, tidak memiliki landasan amat kuat. Para pakar hukum terus berbeda pandangan.
Penulis ingat kasus mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan, yang dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA) dari segala tuntutan hukum. Karena yang dilakukan Karen merupakan Business Judgement Rule yang perbuatannya bukan merupakan tindak pidana, tetapi kebijakan bisnis untuk kepentingan perusahaan dan negara.
Keempat, persoalan kebijakan pembiayaan ekspor adalah perbuatan Hukum Perdata. Jika perbuatan hukum sudah sesuai prosedur atas dasar hukum perjanjian (pacta sunt servanda) lalu terjadi pengembalian yang macet, apakah bisa dinilai kerugian keuangan negara?
Apakah itu bukan utang piutang yang diikat dengan jaminan sesuai prosedur kredit dalam kegiatan pembiayaan oleh lembaga pembiayaan atau perbankan? Dari disiplin Akuntansi Keuangan yang berlaku secara universal dapat dilakukan pencadangan yang lebih lanjut diatur dalam standar Akuntansi Keuangan.
Bahwa atas kredit macet yang terjadi dilakukan berbagai upaya melalui kebijakan restrukturisasi kredit dan bahkan jika benar-benar tidak dapat tertagih dapat dilakukan penghapus bukuan dan penghapus tagihan sesuai dengan standar prosedur yang ketat (Pasal 32 dan 33). Untuk menghapus buku dan bahkan penghapus tagihan merupakan perbuatan yang legal bagi manejemen LPEI karena resiko tak tertagihnya piutang merupakan hal yang lumrah dalam setiap bisnis apapun asal manajemen resiko dan semua prosedur sudah dijalankan secara prudent (kehati-hatian) dengan prinsip tata kelola yang baik.
Standar Akuntansi Keuangan pun sudah mengatur tentang pencadangan dan penghapusan piutang usaha. Kalaupun muncul kerugian keuangan negara akibat kesalahan tata kelola perusahaan, apakah pidana menjadi utama (primum remedium atau last resort) dalam UU Nomor 2 tahun 2009? Kerugian dalam pemberian kredit bukanlah merupakan kerugian keuangan negara, bahkan secara akuntansi pun bukanlah merupakan kerugian.
Dari sisi Hukum Pidana, kerugian haruslah bersifat kerugian riil (riel loss). Ada empat alasan hukum di atas, menjadi alasan mudah diterima akal sehat.
Kalau begitu, langkah hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dinliai tidak tepat. Bagaimana mungkin ekonomi Indonesia tumbuh dan berkembang, jika tugas mulia LPEI yang berada di bawah kendali Menteri Keuangan (Menkeu) RI miliki kendala pidana.
Karena sejak semula dipahami, pidana adminsitrasi (administrative penal law), tidak tepat dilakukan sama halnya dengan pidana umum, sekalipun ada normanya dalam UU Nomor 2 tahun 2009.
Kesimpulan
Ekspor merupakan kegiatan ekonomi yang amat strategis dalam perekonomian nasional. Berbagai kendala yang dihadapi dalam panetrasi pasar internasional perlu diatasi dengan melakukan kebijakan khusus yang berlandasan kepastian hukum yang kuat, karena pasar internasional sangat didominasi oleh Uncontrollable Factors.
Untuk itu, sinergitas antara pemerintah dan pelaku usaha perlu selalu ditingkatkan. Berbagai hambatan di dalam negeri perlu dihilangkan.
Prof Dr Charles Himawan SH, 1995, mantan Dekan FH UI, dalam kuliah umumnya mengatakan, bahwa hukum diciptakan untuk masyarakat agar dapat memperlancar, mempermudah kegiatan ekonomi nasional dalam menghadapi persaingan global. Memahami pidana dalam Hukum Ekonomi perlu berpegang pada doktrin hukum ultimum remedium.
Kita berharap dalam situasi global kekinian yang penuh dengan ketidakpastian, Indonesia tetap dapat meningkatkan ekspornya ke berbagai negara secara berkelanjutan demi kemajuan ekonomi dan kemakmuran kita bersama. Semoga!*** (Penulis berprofesi sebagai Akuntan Publik, Akuntan Forensik, Praktisi Pajak dan Advokat, Penulis buku text di bidang Akuntansi, Pajak dan Hukum Bisnis, artikel di beberapa koran khususnya Investor Daily, Jurnal Ilmiah Nasional dan Internasional.
Alamat email: wirawanilyas06@gmail.com)
Dr Wirawan B Ilyas
Pendidikan : S-1 Akuntansi FE UI
S-2 Perpajakan UI
S-3 Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad).
Di samping itu juga, belajar hukum pada FH UI program eksistensi, Magister Hukum dari Universitas Padjadjaran.
Aktif mengajar pada Program Magister Akuntansi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI dan Dosen Tamu pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.