Pandangan Penulis dari Aspek Premise Analitikum dan Rasa Respect Accesbility
Oleh : Murgap Harahap
Gelombang unjuk rasa dalam memerjuangkan amanah penderitaan rakyat (ampera) dari kalangan serikat pekerja dan serikat buruh (SP/SB) selama sepekan terakhir, silih berganti menghampiri Kantor Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) yang beralamat di Jalan Jenderal Gatot Subroto (Gatsu) Kavling 51, Jakarta. Aksi unjuk rasa tersebut digelar atas reaksi dari terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 tentang dana Jaminan Hari Tua (JHT) bisa dicairkan oleh buruh dan pekerja ketika sudah di usia 56 tahun oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Menaker RI) Ida Fauziyah, baru-baru ini.
Tentu terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tersebut menimbulkan aksi dan reaksi serta kontroversi unjuk rasa dari kalangan grassroot (akar rumput) yakni kalangan pekerja dan buruh yang tidak menerima dengan keluarnya peraturan tersebut karena dana JHT kapan pun mau dicairkan adalah hak dasar dan hak sepenuhnya dari pekerja dan buruh. Akibat keluarnya dan terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 serasa Menaker RI Ida Fauziyah adalah orang yang paling bertanggung jawab penuh karena ingin memangkas hak imunitas (dasar) dan hak sepenuhnya pekerja dan buruh dalam pencairan dana JHT untuk tahun 2022 ini walaupun belum berusia genap 56 tahun.
Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan per Februari 2022, dana JHT yang terkumpul mencapai Rp555 triliun. Apabila dana JHT tersebut tidak bisa dicairkan oleh buruh dan pekerja pada tahun ini dengan alasan belum genap berusia 56 tahun, mau dipakai untuk keperluan apa dana yang jumlahnya fantastik tersebut oleh Kemnaker RI?
Dari segi aspek legalitas formil pun, serasa rencana pembuatan Permenaker Nomor 2 tahun 2022 ini sangat tendensius dan dipaksakan untuk cepat diterbitkan tanpa ada pikir masak-masak dan persiapan yang matang di tengah Pemerintah Indonesia saat ini juga masih berkonsentrasi penuh pada penanganan penyebaran wabah penyakit pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dan virus Omicron. Apakah tidak cacat formil rumusan dan isi dari Permenaker Nomor 2 tahun 2022?
Tanpa mengundang para stakeholders (pihak terkait) seperti para pakar hukum bidang ketenagakerjaan, SP/SB dan kalangan akademisi serta pengusaha dan dari unsur pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) se-Indonesia serta insan pers, bak mendengar suara halilintar menggelegar di tengah siang bolong, tiba-tiba sim salabim, adakadabra, Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tentang Dana JHT cair di usia 56 tahun muncul ke permukaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia dan kalangan buruh dan pekerja yang saat ini rentan dirinya bisa kapan saja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja karena adanya aturan 25% dan 50% pekerja atau buruh bisa bekerja di perusahaan karena adanya aturan PPKM dan PSBB level 3 pula untuk wilayah Jakarta, Jawa dan Bali selama masih adanya pandemi Covid-19 di Indonesia yang mengakibatkan hasil produksi perusahaan juga ikut menurun drastis. Akibat penghasilan perusahaan menurun, maka hanya cukup membayar pekerja dan buruh dalam jumlah kecil dan membayar ongkos operasional dan biaya produksi sehari-hari.
Apakah Menaker Ida Fauziyah sudah melibatkan dan mengajak duduk bersama seluruh SP/SB yang ada di Indonesia dalam perumusan rancangan Permenaker Nomor 2 tahun 2022? Sudahkah dilibatkan pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan pengusaha di Indonesia serta dari kalangan akademisi dalam merumuskan dan memutuskan terbitnya produk Permenaker Nomor 2 tahun 2022?
Apakah sudah diambil suara terbanyak dari hasil voting dari kalangan SP/SB, akademisi, pejabat Pemda dan pengusaha dari seluruh Indonesia dan dilakukan konvensi serta sosialisasi masif terhadap akan diterbitkannya Permenaker Nomor 2 tahun 2022? Berapa banyak pihak yang setuju dan pihak yang tidak setuju akan terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022?
Tentu melihat situasi dan kondisi (sikon) saat ini dari semakin derasnya aksi unjuk rasa pekerja dan buruh sepekan terakhir yang menginginkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022 ini dikaji ulang dalam bentuk pemberlakuannya, maka bisa dinilai pembahasan naskah perumusan Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tanpa dlakukan survey lapangan dan survey dialog secara masif dengan para unsur stakeholders di atas. Kemudian, melihat aspek premise analitikum dan dari aspek respect accesbility (rasa hormat paling tinggi) kepada Menaker RI Ida Fauziyah agar jangan terburu-buru dalam membuat sebuah peraturan yang akan berdampak terhadap kehidupan khalayak banyak.
Khususnya membuat peraturan yang menyinggung langsung kepada kehidupan pekerja dan buruh di Indonesia. Ada bahasa Jawa mengatakan, Ojo Dumeh dan Ojo Grasak-grusuk.
Himpitan ekonomi masyarakat buruh dan pekerja di saat pandemi Covid-19 perlu juga diperhatikan. Apalagi, kalau alasannya telah sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang notabenenya terbit sebelum adanya pandemi Covid-19 dan virus Omicron.
Ketika dikatakan alasan terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 telah sesuai dengan isi dari UU SJSN, kenapa tidak langsung diambil inisiatif dan diambil tindakan untuk segera dilakukan oleh Menaker RI zaman dahulu kala untuk langsung membuat Permenaker serupa saat setelah keluarnya UU SJSN seperti apa yang dibuat oleh Menaker RI Ida Fauziyah saat ini yang menerbitkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022? Kenapa harus menunggu jangka waktu yang begitu lama sekali (tempus) dan baru saat ini dikeluarkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tersebut ketika di tengah pandemi Covid-19 dan Pemerintah Indonesia lagi gencar-gecarnya melakukan suntik vaksin ke-3 (tiga) booster untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dan virus Omicron?
Jangan malah sebaliknya. Setelah keluar atau terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 barulah diajak berdialog kalangan pekerja dan buruh.
Tentu hal tersebut bisa menciderai nasib buruh dan pekerja itu sendiri. Aspirasinya baru didengar ketika Permenakernya sudah jadi dan diterbitkan.
Maka dari itu, dampaknya akan selalu ambigu dan bias dalam membuat sebuah peraturan. Pada akhirnya, kalangan pekerja dan buruh lah, pihak yang bisa memutuskan nasibnya sendiri karena merekalah yang menabung dana JHT itu sedari awal hingga kini dan ikut dalam program iuran dan menabung dana JHT yang ada dan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, hal yang menjadi polemik dan membuat gaduh suasana atas terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 adalah datangnya dari Menaker RI Ida Fauziyah itu sendiri yang membatasi usia buruh dan pekerja bisa mencairkan dana JHT dipatok ketika sudah di usia 56 tahun. Bagaimana apabila buruh dan pekerja tiba-tiba meninggal dunia sebelum usia 56 tahun dan terkena PHK dari tenpatnya bekerja?
Apakah pihak Menaker RI Ida Fauziyah bisa menjamin dana JHT buruh dan pekerja cair? Seberapa persen jaminan keyakinan tersebut diberikan untuk pekerja dan buruh bisa dipegang?
Untuk itu, dalam membuat sebuah peraturan perlu ditelaah dan dicermati serta perlu kajian-kajian secara masak dan matang serta menyeluruh, lihat dari sisi bibit, bobot dan bebetnya agar hasil dari produk peraturan tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan hasilnya pun harus win-win solution (sama-sama diuntungkan) antara si pembuat peraturan dan si penerima aturan itu sendiri. Apakah buruh dan pekerja masih ingin terus menabung uang dari hasil jerih payah tetesan keringatnya untuk mengiur serta ikut dalam program JHT tersebut atau tidak untuk waktu ke depan?
Semua jawaban itu kembali lagi menjadi hak dasar dan hak sepenuhnya buruh dan pekerja untuk memutuskannya agar hidupnya di hari tua bisa sejahtera tanpa bergantung hidup dengan orang lain ketika sudah masuk masa pensiun dari perusahaan tempatnya bekerja. Semoga! *** (Penulis adalah Pemerhati Bidang Ketenagakerjaan)