Oleh : Irjen Pol M Iswandi Hari MSi
Di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ada satu bidang bernama Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker dan Norma K3) yang di dalamnya ada Bina Penegakan Hukum (Gakkum). Dari situ lah, sering terjadi teman-teman di sejajaran Kemnaker dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) daerah dalam menghadapi penegakan hukum.
Mungkin pada prakteknya, ini penting sekali untuk kita lakukan bersama, karena di Kemnaker, kita memunyai Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 33 Tahun 2016 yang telah diperbarui dengan Permenaker Nomor 1/2020, intinya di dalamnya menyebutkan, bahwa ada tahapan di dalam konteks pengawasan ketenagakerjaan yakni pertama, di dalam pengawasan ketenagakerjaan ada pembinaan secara edukatif; Kedua, ada represif non yustisi dan ketiga, represif yustisi. Nah, represif yustisi ini bisa dijalankan kalau teman-teman tenaga pengawas ketenagakerjaan ketika melakukan pengawasan terhadap pelanggaran di dalam satu perusahaan, maka perusahaan yang melakukan pelanggaran akan terkena nota 1 dan nota 2 dan dikasih tenggang waktu.
Pada prakteknya selama ini, nota 1 dan nota 2 tidak dijalankan dan begitu tidak dijalankan dan tidak dihiraukan oleh perusahaan, maka di sinilah teman-teman tenaga pengawas ketenagakerjaan mulai bekerja dalam penegakan hukum, maka disidik. Kalau di dunia kepolisian, namanya Lapor Polisi dan kalau di Kemnaker dan jajaran, namanya Lapor Kejadian.
Singkat cerita, mulai disidik lah perusahaan. Namun, pada prakteknya, ketika seseorang, misalnya, karyawan sebuah perusahaan melaporkan atasannya karena gaji atau upahnya kurang, ternyata ketika perusahaan diberi nota 1 dan nota 2, perusahaan tersebut terkesan cuek. Nah, ketika mulai disidik, barulah perusahaan merasa ketakutan.
Karena merasa ketakutan itu lah, ternyata perusahaan mampu bayar. Nah pertanyaannya, diteruskan atau tidak penyidikannya?
Untuk tu, sekarang lagi digodok rancangan Keputusan Direktur Jenderal (Kep Dirjen) Binwasnaker dan Norma K3 bagaimana Restorative Justice untuk Tindak Pidana Ketenagakerjaan digunakan, sehingga bisa berkeadilan bagi semua pihak, baik pekerja dan tenaga pengawas ketenagakerjaan itu sendiri. Karena pada prinsipnya, teman-teman pekerja tidak kepengin melaporkan perusahan ataupun hingga memenjarakan pihak perusahaan karena hak-haknya tak terpenuhi.
Para pekerja menginginkan hak-haknya terpenuhi. Nah, dalam waktu dekat, draft rancangan Kep Dirjen Binwasnaker dan Norma K3 terkait Restorative Justice untuk Tindak Pidana Ketenagakerjaan sedang digarap dan Restorative Justice diharapkan bisa berkeadilan pada setiap orang tanpa harus menciderai kawan ataupun lawan.
Kenapa Restorative Justice kita insiasi? Karena ketika Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) terpilih saat ini yakni Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Listyo Sigit Prabowo, ketika fit and proper test (uji kelayakan) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), beberapa waktu lalu, saya masih ingat kala itu dalam sambutannya mengatakan, bahwasanya salah satu programnya yakni menggelorakan Restorative Justice dan di Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah ada Peraturan Kejaksaan Agung (Perja) Nomor 15/2020, tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif dan Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 8/2018, tentang penerapan Restorative Justice.
Nah sekarang di Kemnaker, juga sedang melakukan itu, sehingga manakala ada kejadian serupa, teman-teman Disnaker di daerah
tidak ada kesulitan dan bisa menggunakan Restorative Justice untuk Tindak Pidana Ketenagakerjaan. Mohon do’anya, semoga dalam waktu dekat Kep Dirjen Binwasnaker dan Norma K3 tentang Restorative Justice untuk Tindak Pidana Ketenagakerjaan bisa berlaku. “”” (Penulis adalah Direktur Bina Gakkum Ditjen Binwasnaker dan Norma K3 Kemnaker)
Tulisan Opini ini diterima redaksi per Februari 2021