Oleh : Murgap Harahap
Tepat pada hari ini (Selasa, 09/02/2021) menjadi hari besar bagi insan pers Indonesia karena diperingatinya Hari Pers Nasional (HPN) untuk tahun 2021. Tentu bagi insan pers tak mudah memiliki hari kebesaran tersebut.
Framing (bingkai) sejarah pers di Indonesia dewasa ini terjadi silih berganti dan telah mengikuti proses era perubahan dari masa ke masa dan penuh perjuangan. Dimulai ketika masa Orde Baru (Orba), media pers banyak mengalami pembredelan bahkan hingga terjadi intimidasi terhadap insan pers itu sendiri.
Kala itu, mengkritik sedikit kebijakan pemerintahan langsung diberikan surat peringatan oleh pemerintah yang kala itu berkuasa hingga pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pada masa Orde Lama (Orla), media pers yang terbit adalah media cetak, media elektronik berupa radio serta televisi dan bisa dihitung dengan jari serta jumlahnya tak seramai seperti saat ini.
Memasuki masa Orde Reformasi (1999), barulah insan pers bisa merasa sedikit lega karena SIUPP resmi dicabut oleh pemerintah (SIUPP dianggap sebagai alatnya pemerintah untuk menguasai media pers) dan pers memiliki payung hukum berupa Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 tahun 1999 beserta Kode Etik Jurnalistik untuk tetap bisa berekspresi menuliskan sebuah peristiwa atau kejadian lewat tinta emas penanya dalam melakukan kontrol sosial secara check and balancing (akurat dan berimbang) menjadi sebuah berita dengan unsur 5W + 1H (Where, When, What, Who, Why dan How) tanpa harus ada intimidasi kepada insan pers. Walaupun demikian, kebebasan pers saat ini juga memiliki tanggung jawab moral dan resiko besar untuk kemaslahatan bangsa dan negara ini.
Di tengah kebebasan pers di era demokrasi saat ini dan ketika menjadi pilar demokrasi dalam berekspresi, narasumber yang diberitakan pun juga punya hak jawab atau hak koreksi ketika ada kekeliruan atas pemberitaan yang dituliskan oleh insan pers. Itulah konsekuensi logis dan menjadi tanggung jawab pada tiap insan pers yang ada di benaknya masing-masing ketika UU Pers Nomor 40 tahun 1999 lahir.
Pasca Orde Reformasi, di era kekinian, menjadi pertanyaannya sekarang, sudahkah pers itu bersatu antara media online, media cetak dan media elektronik? Apakah masih ada dikotomi sebutan media mainstream dan media non mainstream, media harian, media mingguan, media dwi mingguan dan media bulanan serta media lokal dan media daerah, media online atau media cyber, media sosial (medsos) serta media digital?
Ketika perspektif dikotomi tersebut berkembang dan dimainkan serta pers masih belum bisa bersatu dan masih ada perbedaan sebutan media pers, di sanalah adanya kesempatan untuk merobohkan dinding tirani dan kekuatan dari dinding pertahanan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pers yang selama ini sudah terbangun baik dan kokoh dalam melakukan kontrol sosial. Membenturkan ataupun mencerai-beraikan sesama insan pers janganlah sampai terjadi.
Siapa pihak yang diuntungkan ketika insan pers tidak bisa bersatu? Tentu pihak yang diuntungkan adalah pihak-pihak yang alergi, gerah dan demam terhadap insan pers itu sendiri atas pemberitaannya.
Siapa saja contohnya? Para tikus – tikus berdasi dan berkemeja berkerah yang doyan menggerogoti uang negara untuk nafsu angkara murka pribadinya dan para koruptor yang menjadi bahan kontrol sosial insan pers.
Maka dari itu, janganlah media online dan medsos serta media non mainstream serta media digital dijadikan musuh bersama. Media online, medsos dan media digital serta media non mainstream hadir di negeri ini karena masih kurangnya dan dibutuhkannya kontrol sosial di negeri ini untuk tetap bisa mengawasi dan mengawal penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tidak ada yang bocor ataupun dikorupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan ujungnya hanya menyengsarakan rakyat.
Di samping itu, kehadiran mereka karena adanya kemajuan Informasi Teknologi (IT) yang berkembang pesat dewasa ini berupa hadirnya industri 4.0 dan industri 4G yang bisa langsung diakses lewat gadget atau telpon genggam atau Handphone (HP) serta komputer dan laptop. Oleh karena itu, sejatinya insan pers bisa menjadikan kemajuan teknologi tersebut sebagai peluang bukan rintangan ataupun halangan dalam kecepatan menyampaikan sebuah berita.
Mari bersatu sesama insan pers. Jangan adalagi kata disrupsi media digital selama produk yang dihasilkan adalah hasil karya jurnalistik insan pers dan memenuhi standar dan mengandung unsur 5W + 1H dan tidak keluar dari rambu-rambu UU Pers Nomor 40 tahun 1999 serta Kode Etik Jurnalistik.
Ketika insan pers bisa bersatu dan saling bisa menerima perbedaan media, di sanalah kekuatan insan pers akan dihormati, disegani serta dihargai oleh berbagai pihak. Selamat Hari Pers Nasional (HPN) 2021, bravo pers Indonesia dan salam satu pena (pena demokrasi). Semoga!*** (Penulis adalah Pemred Madina Line.Com)