Ustadz HM Aziz Hidayatullah foto bersama bakal Cawapres RI Prof Dr KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Rabu siang (19/09/2018). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Istilah santri dan ulama menjadi perbincangan menarik akhir-akhir ini. Salah satunya dipicu penyematan gelar ulama kepada bakal Calon Wakil Presiden Republik Indonesia (Cawapres RI) Sandiaga Salahuddin Uno oleh salah seorang pentolan partai politik (parpol).
Pengasuh Pondok Pesantren (Pontren) Bustanul Hidayah, Tegal, Jawa Tengah (Jateng), Ustadz HM Wasis Surono atau yang lebih dikenal sebagai Ustadz HM Aziz Hidayatullah, menganggap penyebutan ulama kepada seseorang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam agama sangat gegabah. Menurutnya, semua orang seharusnya punya pemahaman yang sama mengenai ulama sesuai dengan makna yang berlaku secara umum.
“Ulama itu sudah disepakati sebagai julukan sosok yang memahami ilmu-ilmu agama, menghabiskan sekian tahun waktunya di pondok-pondok pesantren, mengkhatamkan kajian-kajian ilmu agama,” ungkap sosok yang juga dikenal sebagai Ketua Presidium Forum Keluarga Paranormal dan Penyembuh Alternatif Indonesia (FKPPAI), di Jakarta, Rabu siang (19/09/2018).
Ditambahkannya, penyebutan ulama atau bahkan santri pada sosok yang tidak kompeten berpotensi menurunkan marwah ulama atau santri itu sendiri. Padahal, sambungnya, untuk memeroleh gelar ulama itu membutuhkan perjuangan yang berat.
“Para santri harus menghabiskan waktu bertahun. Bahkan, puluhan tahun untuk menguasai ilmu agama,” terangnya.
Dikatakannya, para santri itu, digembleng terus-menerus sejak usia dini, dari tingkat diniyah di madrasah, terus mengaji di usia remaja hingga dewasa. “Mereka ditempa dengan disiplin yang ketat, dengan waktu istirahat yang sedikit,” ujarnya.
Tidak jarang dengan waktu istirahat yang sedikit itu, jam 2 (dua) malam harus bersiap bangun untuk memelajari lagi semua ilmu agama, mulai dari Tauhid, Fiqh, Akhlak, Nahwu Shorof, Balagoh, Mantik, Qur’an Hadist dan banyak pelajaran lainnya. “Setelah itu, Shalat Shubuh dan dilanjutkan setor hafalan dan ngaji Sorogan kepada kiai,” paparnya.
“Itu dilakukan setiap hari sampai bertahun-tahun,” tuturnya.
Dengan perjuangan yang berat itu, imbuhnya, rasanya tidak pada tempatnya, jika tiba-tiba ada orang yang memberi gelar ulama yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk menyandang gelar tersebut. “Cuma bisa mengelus dada saja. Demi memenuhi syahwat politik, apapun yang dilakukan seolah benar, nauzubillahiminzalik,” pungkasnya dengan nada kecewa. (Murgap)