Ketum Lemtari Suhaili Husein Mudo SH saat jumpa pers di Anjungan Taman Budaya Tionghoa TMII, Jakarta, Jum’at sore (23/12/2016). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pendiriannya digagas oleh istri Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2 (dua) Almarhumah (Almh) Tien Soeharto dan Presiden RI kedua Almarhum (Alm) HM Soeharto. Pendiriannya demi menyatukan kebhinekaan dari ribuan pulau, ratusan bahasa daerah dan adat di nusantara.
Semua dibuat dalam bentuk miniatur yang dapat dikunjungi dan dilihat oleh rakyat Indonesia maupun wisatawan luar negeri. Kekayaan milik Indonesia ini tidak ada tandingan dari mana pun di dunia, sehingga dapat dikatakan TMII merupakan representasi ideal untuk mengetahui adat istiadat dan budaya untuk tingkat awal sebelum riset ke daerah yang sebenarnya bagi para ilmuwan.
Sayangnya, keberadaan TMII pasca Reformasi 1998 seiring perjalanan waktu mulai memudar kharismanya. Obyek wisata termurah ini mulai banyak kekurangan dari segi pendanaan untuk pemeliharaan.
Beberapa sentra kunjungan mulai ada yang tutup. Apakah karena masalah pendanaan, sehingga beberapa tahun belakangan ini berdiri Taman Budaya RRT, dan Museum Poh An Tui.
Ketua Umum Lembaga Tinggi Adat Republik Indonesia (Ketum Lemtari) Suhaili Husein Datuk Mudo SH memertanyakan dari provinsi mana RRT itu, berasal, dan adat istiadat mana yang diakui oleh penduduk nusantara ini. “Mereka pendatang ini seolah menjadi pemilik dari 1 (satu) bagian dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi di nusantara ini. Mengapa seperti ada pribumi sampah yang mencoba menjual negara ini lambat laun? Mereka melakukan semua melalui politik asosiasi, yaitu dengan cara menduplikasi produk asli leluhur nusantara,” ujar Suhaili Husein Datuk Mudo SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di Anjungan Taman Budaya Tionghoa TMII, Jakarta, Jum’at sore (23/12/2016).
“Kita tahu, bahwa RRT adalah duplikator terunggul dalam segala hal. Mereka bertarung dalam memroduksi elektronik yang dibuat oleh Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kini, RRT berupaya menjadi Cina Raya dengan pelbagai ekspansi,” tegasnya.
Anjungan RRT di TMII, menurut pengamatan Front Pribumi merupakan sinyal kuat ekspansi RRT. “Mereka bekerjasama dengan RRT yang sudah datang sejak 400 (empat ratus) tahun lalu. Baik yang datang atas jasa penjajah Belanda maupun yang datang dengan modal sendiri,” katanya.
“Tidak ada Anjungan Jepang, Portugis maupun Arab di TMII. Tapi, mengapa ada Anjungan RRT? Seakan bangsa ini kembali menjadi bangsa taklukan bangsa lain di negeri sendiri,” keluhnya.
Untuk itu, sambungnya, Front Pribumi mengimbau agar pribumi nusantara bangkit dan melawan dari tidur yang dibuat dari sogokan dan candu dikirim dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). “Kasus peletakan prasasti Pancasila ditaruh di bawah buntut bagian belakang patung garuda juga dipertanyakan. Bukan hanya itu, saja, di bawah teks Pancasila ada pula Bahasa Cina-nya dan di leher patung garuda dikalungi rantai serta wajah burung garuda menyerong ke kanan atau menghadap 45 (empat puluh lima) derajat ke kanan, seharusnya menghadap lurus ke kanan,” ia memertanyakan.
Dengan demikian, imbuhnya, elemen Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KRKI, Lemtari, dan Front Pribumi, mendesak kepada Pemerintah RI segera menutup Anjungan Taman Budaya Tionghoa TMII dalam waktu dekat. (Murgap)