Adrianus Garu
Jakarta, Madina Line.Com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Adrianus Garu menilai sistem Pemilihan Umum (Pemilu) dengan formasi proporsional terbuka yang berlaku sekarang ini sudah tepat.
Sistem tersebut tidak perlu diubah lagi karena akan membingungkan masyarakat. “Sudah baik yang ada sekarang ini. Tinggal disempurnakan kalau memang masih ada kekurangan. Tidak perlu harus diubah lagi. Termasuk mengubah ke wacana proporsional terbuka terbatas,” kata Andre, sapaan akrab Adrianus Garu kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Perlu diketahui, saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah Indonesia sedang membahas revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Terdapat 1 (satu) pasal yang menjadi perhatian serius, adanya usulan dari Pemerintah Indonesia mengubah sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional terbuka terbatas.
Sistem proporsional terbuka adalah memilih anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) RI) berdasarkan suara terbanyak. Artinya, siapa yang memiliki suara terbanyak dalam pemilu, mereka yang berhak menjadi anggota legislatif.
Model sebaliknya, dari sistem tersebut adalah proporsional tertutup, Sistem itu berdasarkan nomor urut.
Nomor urut paling atas (nomor 1 dan 2) yang berpeluang lolos menjadi anggota legislatif. Penentuan nomor urut dilakukan oleh partai politik (parpol).
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai pengusul berpandangan sistem proporsional terbuka terbatas sebagai jalan tengah untuk menggabungkan kedua sistem tersebut. Andre tidak sependapat dengan sistem proporsional terbuka terbatas tesebut.
Ia meminta agar tidak perlu dibatasi sistem proporsional terbuka. Sistem itu sudah mendapat kekuatan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, sistem itu sudah membuka ruang bagi rakyat untuk memilih wakil rakyatnya secara terbuka, tanpa ditutup-tutupi. Jika dikembalikan ke sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas, maka rakyat akan memilih “kucing dalam karung”.
Artinya, rakyat memilih wakilnya yang tidak diketahui latar belakang (track record) karena calon legislatif (Caleg) ditentukan oleh parpol. “Proporsional terbuka terbatas hanya akal-akalan saja. Niat besarnya untuk mengembalikan ke proporsional tertutup. Sistem tertutup itu sudah tidak tepat karena yang lolos menjadi legislatif lebih ditentukan oleh parpol, bukan dari pemilihan rakyat,” tutur anggota Komite IV DPD RI Bidang Keuangan, Perbankan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini.
Dia tidak setuju atas alasan dari kalangan parpol, bahwa sistem proporsional terbuka tidak memberi kesempatan bagi kader parpol lolos menjadi anggota legislatif. Alasannya, sistem tersebut didasarkan pada kepopuleran dan kemampuan finasilal sang calon.
Akibatnya, kader yang tidak punya uang tidak lolos menjadi anggota legislatif. Padahal, mereka sudah berdarah-darah atau bersusah payah mengurus parpol.
Menurut Andre, anggapan itu sangat keliru. Persoalan yang terjadi dalam parpol selama ini adalah proses rekrutmen yang tidak bagus.
Tidak ada jenjang kaderisasi yang jelas dan tegas. Pada saat pemilu, semua parpol huru-hara merekrut caleg.
“Akibatnya, caleg yang muncul tidak disukai masyarakat. Jika sejak awal sudah ada kaderisasi yang baik, pasti akan dilihat rakyat. Pada saat pemilu, rakyat sudah ingat akan kader-kader yang sudah tampil lama. Jangan muncul tiba-tiba saat pemilu,” ujar Andre, yang masih aktif sebagai kader Partai Demokrat (PD) itu.
Andre juga mendukung kenaikan ambang batas parpol atau parliamentary threshold (PT) yang lolos masuk DPR RI hingga 7% seperti diusulkan Partai Nasional Demokrat (NasDem). Kenaikan tersebut sangat perlu agar tidak terlalu banyak parpol di republik ini.
Kebanyakan parpol membuat sistem presidensial tidak berjalan efektif. “Cukup sampai 5 (lima) saja parpol yang lolos ke DPR RI. Terlalu banyak bikin pusing,” tegasnya.
Dia berpandangan pemilihan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Polisi RI (Kapolri), pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Duta Besar (Dubes), Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan jabatan lainnya, tidak perlu harus mendapat persetujuan DPR RI. Kebijakan-kebijakan tersebut memerlemah sistem presidensial, yang terjadi malah sistem parlementer karena hampir semua kebijakan harus mendapat persetujuan DPR RI.
“Parpol harus memberi kepercayaan penuh pada presiden. Hargai hak preogatif presiden. Biar pembangunan bisa sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Indonesia. Bukan sebaliknya, parpol terlalu banyak mengatur sistem presidensil, sehingga hasil akirnya, bukan kesejahteraan rakyat tapi kesejahteraan parpol dan kelompok dari pusat sampai daerah. Ini yang membuat rusaknya sistem di Indonesia,” tutur Andre.
Dia menambahkan, parpol yang diduga dihidupkan oleh uang korupsi harus dibubarkan. Parpol seperti itu hanya membebankan uang negara.
“Ada beberapa parpol yang sudah terlihat selama ini. Banyak kader mereka yang sudah tersangkut korupsi. Sudah pasti apa yang mereka lakukan untuk kepentingan parpol. Maka yang terjadi seperti itu harus dibubarkan saja,” tutupnya. (Barto)