Kuasa Hukum terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono, Dr Eddhi Sutarto SIP SH MH CLA (kedua dari kanan) foto bersama anggotanya Setya Wendi Kiarna SH (pertama dari kanan) dan lainnya di luar ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (06/12/2023). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan untuk ketiga kalinya dengan Nomor perkara 109/Tipidsus/PN.Jkt.Pst/2023 dugaan gratifikasi dengan terdakwa mantan Kepala Bea Cukai (BC) Makassar Andhi Pramono, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (06/12/2023).
Terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono diduga menerima gratifikasi sejumlah Rp58 miliar lebih. Dugaan penerimaan uang tersebut telah dibacakan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Rabu (22/11/2023).
“Bahwa penerimaan gratifikasi itu ada yang diterima secara langsung atau melalui rekening bank,” kata jaksa KPK Joko Hermawan dalam sidang.
Jaksa KPK merinci uang yang diterima Andhi Pramono itu terdiri dari pecahan rupiah maupun mata uang asing. Rinciannya adalah Rp50.286.275.189; US$ 264.500 (Rp3.800.871.000) dan dolar Singapura 409.000 (Rp4.889.970).
Jaksa KPK menyebut uang itu diterima Andhi Pramono selama menjabat sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) BC Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) periode 2009 hingga 2022. Sejumlah jabatan yang pernah dipegang Andhi Pramono di antaranya Penjabat (Pj) Kepala Seksi (Kasi) Penindakan Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen BC Riau dan Sumatera Barat (Sumbar) periode 2009 hingga 2012; Kasi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai V kantor Pengawasan dan Pelayanan BC Tipe Madya Pabean B Palembang (periode 2012 hingga 2016) dan Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean B Makassar pada 2021-2022.
Selama memegang beberapa jabatan itu, Andhi Pramono diduga menerima uang dari perusahaan maupun pengusaha yang bergerak di bidang ekspor. Ada 8 (delapan) pengusaha yang disebut memberikan uang kepada Andhi Pramono, di antaranya Suriyanto seorang pengusaha 9 (sembilan bahan pokok atau sembako) di Karimun sejumlah Rp2,47 miliar.
Uang diterima Andhi Pramono sebanyak 32 kali. Selain itu, ada pula pengusaha Rony Faslah yang memberikan uang dengan total Rp2,79 mililar kepada Andhi Pramono semasa menjabat sebagai (Pj) Kasi Penindakan Kanwil Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Riau.
Pengusaha ekspedisi bernama Rudi Hartono disebut juga memberikan uang dengan jumlah Rp1,170 miliar semasa dirinya menjabat sebagai Kasi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai V KPPBC Tipe Madya Pabean (TMP) 8 Palembang. Di luar pemberian dari pengusaha, jaksa KPK menyebut, bahwa selama menjabat sebagai Kepala BC Makassar, Andhi Pramono ditengarai menerima uang dalam jumlah Rp7,076 miliar lewat sejumlah rekening, sehingga dengan seluruh jumlah penerimaan itu, jaksa KPK mendakwa Andhi Pramono menerima total uang sebanyak Rp58,8 miliar terkait jabatannya di BC.
Atas dakwaan jaksa KPK tersebut, Andhi Pramono maupun Kuasa Hukumnya mengajukan keberatan alias eksepsi. Pembacaan eksepsi dilakukan pada Rabu pekan lalu.
Dugaan korupsi yang dilakukan Andhi Pramono mulai terungkap ketika kasus pamer harta mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo mencuat ke publik. Andhi Pramono menjadi salah satu pejabat Kemenkeu RI yang disorot karena dia dan keluarganya diduga kerap memamerkan hartanya di media sosial (medsos).
KPK kemudian menyelidiki sumber harta dan menetapkan Andhi Pramono menjadi tersangka gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). KPK resmi menaikan kasus ini ke penyidikan dan menahan Andhi Pramono pada 7 Juli 2023.
Sidang hari ini adalah pembacaan jawaban dari jaksa KPK atas pembacaan eksepsi dari Kuasa Hukum terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono. Kuasa Hukum terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono, Dr Eddhi Sutarto SIP SH MH CLA mengatakan, sidang hari ini jaksa menjawab dari isi eksepsi tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono.
“Dalam eksepsi itu, kita mendahlilkan, apa yang didakwakan ke klien kami (terdakwa Andhi Pramono) dengan pertimbangan, bahwa apa yang didakwakan itu tidak rinci karena yang dinamakan penerimaan – penerimaan itu ada batas waktunya dan disangkutkan dengan jabatan apa. Karena di samping jabatan apa pun tersebut, makanya kalau ini terus akan merugikan dalam pembelaan nanti,” ujar Dr Eddhi Sutarto SIP SH MH CLA kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, meskipun kliennya sebagai PNS, mungkin di luar kegiatan itu tidak ada kegiatan-kegiatan yang sebenarnya tidak melanggar ketentuan jabatan dan tugas pokok serta hal-hal yang bersangkutan dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi). “Oleh karena itu, kita mencoba untuk membuat eksepsi. Nanti tinggal menunggu putusan sela hakim. Putusan sela hakim itu apakah mengabulkan eksepsi kami atau menolak eksepsi kami. Ada di dua posisi itu,” ungkap Dr Eddhi Sutarto SIP SH MH CLA dari Kantor Eddhi Sutarto and Partner yang beralamat di Semarang, Jawa Tengah (Jateng) ini.
“Jadi apa yang diterima oleh klien kami ini (terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono) itu sangat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 B Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor terkait dengan jabatannya. Karena jabatannya, maka ada ketentuan pasal itu. Maka, apa yang diterima tidak dengan jabatan yang ada di situ. Dakwaan tunggal terkait gratifikasi,” tegasnya.
Dijelaskannya, karena dakwaan jaksa KPK terkait gratifikasi, jadi tidak ada dugaan kerugian negara dan bukan suap. “Perkara terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono terkait gratifikasi. Titik utamanya pada penerimaan uang dan ada batas nilai uang Rp10 juta atau kurang dari Rp10 juta. Tergantung dari pembuktian,” katanya.
“Nah, dalam pembuktian itu, seperti yang saya sampaikan ssebelumnya, apakah pemberian ini terkait dengan jabatan? Jabatan yang sedang disandang saat itu,” tanyanya.
Menurutnya, tempus (waktu) dan locus (lokasi) pejabat BC itu dibatasi. “Kewenangannya ada batas lokasinya dan waktu. Itu yang tadi kita sampaikan. Kalau ini tidak jelas dalam menguraikan dakwaan, dapat merugikan lah karena memang PNS terus terima uang dan sebagainya, bukan berarti seperti itu. Artinya, apakah saat menerima uang itu memang melanggar jabatan yang disandangnya?” tanyanya lagi.
“Jabatan terakhir terdakwa Andhi Pramono adalah Kepala Kantor BC Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel),” ungkapnya.
Dakwaan jaksa KPK kepada kliennya, sambungnya, memang masuk tapi tidak dirinci pada saat menerima gratifikasi itu kapasitasnya (terdakwa Andhi Pramono) sebagai apa. “Jadi dugaan penerimaan uang gratifikasi itu misalnya lah, klien saya (terdakwa Andhi Pramono) menerima dari Jakarta. Tapi posisinya ada di Makassar. Apakah dugaan penerimaan gratfiikasi itu ada kaitannya dengan jabatannya sebagai Kepala BC Makassar atau tidak? Karena perhitungannya penerimaan itu, jaksa sudah menyebutkan sudah menguraikan waktunya. Tapi kalau di eksepsi kami menyebutkan, bahwa ada keterkaitannya. Kalau tidak ada keterkaitannya, berarti tidak bisa dihubungi ke kliennya. Ini supaya hukum bagaimana kita menyampaikan, bahwa dalam dakwaan jaksa itu kita melakukan eksepsi dan kepentingan utamanya adalah supaya hak-hak terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono tidak dirugikan,” jelasnya.
“Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor terkait penerimaan uang yang dikenakan kepada terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono yang dikenakan oleh jaksa. Penerimaan uang yang diduga melanggar jabatannya dan sebagainya,” tuturnya.
Ia mengharapkan kalau ada level eksepsi, semoga dikabulkan. “Itu harapan dari penasehat hukum terdakwa mantan Kepala BC Makassar Andhi Pramono. Bukan berarti berhenti tapi disempurnakan kalau kaitannya dengan dakwaan jaksa yang kabur,” tandasnya. (Murgap)