Hendrajit
Jakarta, Madina Line.Com – Posko Relawan Rakyat Indonesia (PRRI) menggelar acara Diskusi Seri ke-4 dengan mengambil tema “Pilpres Curang TSM Akibat KKN Politik Dinasti dan Potensi Gerakan Rakyat Boikot/Menolak Hasil Pemilu” di Jakarta, Rabu (29/1!/2023).
Hadir menjadi narasumber dalam acara ini yakni Beathor Surjadi,
Pengkaji Ilmu Geopolitik dari Global Feature Institute, Hendrajit dan Marwan Batubara. Hendrajit mengatakan, setelah pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto, masuk ke sistem demokrasi multi partai tapi tidak diikuti dengan rekrutmen kader-kader politik maupun sistem kaderisasi meritokrasi.
“Artinya, tidak melihat konco, saudara dan kerabat serta kroni tapi orang-orang yang kompeten. Tentu selain ideologi yang sama dan sevisi satu nilai tapi berdasarkan kepada kemampuan-kemampuan yang obyektif,” ujar Hendrajit kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara ini.
Dikatakannya, tapi dalam perkembangannya tidak seperti itu. “Setelah demokrasi parlementer multi partai jalan tapi kok cara rekrutmen tetap diduga Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Memang ada aturan main saja yang berubah dari era Orde Baru (Orba) ke Reformasi,” terangnya.
Tapi pada intinya, sambungnya, rekrutmen itu tidak membuat fungsi-fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) maupun para pejabat yang terpilih lewat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ataupun Pemilihan Presiden (Pilpres) untuk menjadi sosok-sosok yang ideal. “Itu yang saya melihat peristiwa fenomenal pemilihan Calon Wakil Presiden (Cawapres) RI 2024 Gibran Rakabuming Raka, akhirnya hanya bentuk ekstremnya saja dari perkembangan yang sebetulnya dari awal, seharusnya berdasarkan meritokrasi, rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan. Tapi tidak seperti itu,” jelasnya.
Terkait sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang membahas tentang batas usia Calon Presiden (Capres) RI dan Cawapres RI, beberapa waktu lalu, berdampak kepada pemberhentian mantan Ketua MK RI Anwar Usman oleh Jimly Ashidiq, Hendrajit menjelaskan, sebetulnya mereka (3 Hakim) MK RI termasuk Jimly Ashidiq kepenginnya dua-duanya. “Selain dipecat sebagai hakim dan juga dicopot keanggotaannya sebagai majelis hakim,” paparnya.
Cuma, imbuhnya, mengingat situasi saat itu genting dan peka, kalau itu diterapkan dua-duanya, itu celah bagi mantan Ketua MK RI Anwar Usman untuk membela diri melalui gugatan banding. “Sekarang sudah tidak relevan lagi untuk melakukan gugatan banding. Tapi kalau seandainya dua-duanya dikembangkan kemarin, Anwar Usman punya celah untuk gugat banding dan selama banding, Anwar Usman tetap menjadi Ketua MK RI,” ungkapnya.
“Tapi cukup cerdas ijtihad dari 3 orang itu. Akhirnya, walaupun tidak salah satu tetap dessending pengin dua-duanya. Akhirnya, memang ya sudah hakim sebagai ketua majelis hakim saja yang dicopot. Selebihnya, buat dinamik dikembangkan oleh formasi baru yakni Ketua MK RI saat ini Suhartoyo, Wakil Ketua (Waket) MK RI Saldi Isra dan lain-lain. Itu otomatis sudah wewenang baru kan. Itu yang saya kira sudah cukup kalau dilihat dari ini memang soal taktis. Memang kalau idealnya, mereka bertiga inginnya dicopot dua-duanya, sebagai hakim dan ketua majelis hakim,” katanya.
Menurutnya, kalau diterapkan dua-duanya, mau tidak mau Anwar Usman harus banding dulu. “Selama banding kan status quo. Itu sementara situasi kebhatinan masyarakat sangat pro kontra,” paparnya.
Soal berlaku surut atau tidaknya putusan MK RI terkait batas usia Capres RI dan Cawapres RI yang dibuat oleh mantan Ketua MK RI Anwar Usman, sambungnya, kalau itu diketuai oleh Ketua MK RI saat ini Suhartoyo dan Waket MK RI Saldi Isra memang pasti ada penyegaran. “Cuma apapun hasil putusan mantan Ketua MK RI Anwar Usman terkait batas usia Capres RI dan Cawapres RI, beberapa waktu lalu, sudah mengguratkan luka, bahwa legitimasi MK RI ini mengalami penurunan drastis dalam citra dan martabatnya,” ucapnya.
“Jadi kalau nanti ada kecurangan Pilpres terjadi, kelihatannya tidak tertarik untuk melalui prosedur MK RI tapi secara politis yaitu dengan cara di DPR RI melalui Hak Angket. Pasti arahnya pemakzulan. Artinya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ketua MK RI Suhartoyo dan Waket MK RI Saldi Isra dan teman-teman, kelihatannya tidak mau beresiko dengan cara prosedur hukum tapi dengan cara politis,” tuturnya.
Dijelaskannya, kumulasi dari sebelum-sebelumnya, termasuk puncaknya dari putusan mantan Ketua MK RI Anwar Usman menggoalkan Peraturan MK RI Nomor 90 Tahun 2023 tentang Batas usia Capres RI dan Cawapres RI, beberapa waktu lalu. “Sebetulnya, dengan adanya formasi baru, saya kira sudah lain. Cuma kalau bicara legitimasi, masyarakat melihat MK RI yang sebelumnya dan saat ini belum ada belum teruji. Kalaupun sekarang masih digelar sidang batas usia Capres RI dan Cawapres RI, tetap Ketua MK RI saat ini formasi baru. Kita lihat saja seperti apa keputusannya. Tapi paling tidak dengan adanya formasi baru Ketua MK RI memutus bukan kepada Anwar Usman saja tapi jaring-jaring yang terkoneksi dengan 9 hakim terurai orang-orangnya yang mana bermain, mana yang memang tetap di jalur profesional,” katanya.
“Kalau soal bersih-bersih di MK RI agar ke depannya membuat kebijakan lurus, itu ada di tangan mereka, cara pandangnya. Kalau di jurnalis perlu juga membedah cara pandang atau pola pikir dari Ketua MK RI saat ini Suhartoyo, Waket MK RI Saldi Isra dan majelis hakim lainnya. Dari situ bisa dinilai ada potensi untuk mengubah atau membersihkan internal MK RI atau status quo,” tuturnya.
Ia mengatakan, dengan adanya dugaan Pilpres RI 2024 curang dan adanya rekayasa hukum sudah terbukti dengan adanya pergantian Ketua Majelis MK RI Anwar Usman yang terungkap dalam persidangan MKMK, beberapa waktu lalu, tapi kalau dilihat ke depannya, tergantung bagaimana konstelasi di penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) nanti kalau kondisinya seperti sekarang. “Bagaimana seperti baliho saja sekarang kelihatan. Ada yang bilang dukung dan ada yang bilang tidak. Ada yang bilang harus dicopot baliho tapi ada juga yang bilang pasang. Itu bukan beda pendapat lagi tapi beda dalam kebijakannya. Itu menyebabkan berawalnya netralitas penyelenggara Pemilu tapi justru potensi dualisme komando yang berangkat dari perang senyap dari elit sendiri. Itu yang rawan,” tandasnya. (Murgap)