Kuasa Hukum terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Drs Jhony M Samosir, Brigjen Pol (Purn) Drs Endang Sofyan M SH (kedua dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukum lainnya Gunawan Raka SH MH (pertama dari kiri), Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH (pertama dari kanan) dan lainnya ketika menunggu sidang putusan final kliennya di ruang Oemar Seno Adji 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa siang (25/07/2023).
Jakarta, Madina Line.Com – Tok! Akhirnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Umum (Tipidum) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjatuhi hukuman kurungan penjara selama 2 tahun kepada terdakwa mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Wakabareskrim Mabes Polri) Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Purnawirawan (Purn) Drs Jhony M Samosir selaku terdakwa dalam perkara perjanjian antara PT Konawe Putra Propertindo (KPP) dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) pada tanggal 28 Maret 2018, atas perjanjian aquo, para pihak tidak menaati perjanjian, sehingga objek tanah yang diperjualbelikan jadi sengketa di ruang Oemar Seno Adji 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran. Selasa siang (25/07/2023).
Kuasa Hukum terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Drs Jhony M Samosir, Brigjen Pol (Purn) Drs Endang Sofyan M SH mengatakan, pada hari Selasa ini keadilan telah mati di PN Jakpus. “Dalam persidangan terbuka untuk umum, majelis hakim perkara Nomor 141/Pidum/2023/PN.Jkt.Pst telah membacakan Putusan atas Perkara Dugaan Penggelapan atas nama terdakwa Drs Jhony M Samosir, terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum 2 tahun penjara tanpa menghiraukan seluruh fakta persidangan dan Nota Pembelaan yang disampaikan oleh Penasehat Hukum terdakwa, sehingga putusan yang dihasilkan tidak didasarkan dari kebenaran materil dan keadilan yang merupakan tujuan Hukum Acara Pidana,” ujar Brigjen Pol (Purn) Drs Endang Sofyan M SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Sikap dan perilaku majelis hakim pun sejak awal telah menempatkan terdakwa sebagai orang yang bersalah dan melanggar presumption of innocent (azas praduga tak bersalah) yang seharusnya dijunjung tinggi oleh hakim dalam peradilan pidana, sehingga putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak berkeadilan,” ucapnya.
Dijelaskannya, pada pertimbangan yang dibacakan oleh majelis hakim menyebutkan, bahwa terdakwa mendapatkan dan menyimpan barang yang diduga digelapkan karena terdakwa menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Konawe Putra Propertindo. “Sementara, dakwaan dan tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah mengenai Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga seharusnya dakwaan dan tuntutan tersebut tidak dapat dikenakan kepada terdakwa yang melakukan penyimpanan barang dalam kapasitas jabatannya sebagai Dirut perusahaan,” terangnya.
“Sebab Pasal 372 KUHP adalah Pasal Penggelapan yang ditujukan bagi individu atau pribadi yang melakukan penggelapan. Sedangkan, pasal bagi dugaan Tindak Pidana Penggelapan dalam kapasitas jabatan, seharusnya adalah Pasal 374 KUHP,” paparnya.
Di sini, sambungnya, majelis hakim pun lupa hal esensi dalam Tindak Pidana Penggelapan adalah pembuktian klien kepemilikan atas barang yang diduga digelapkan tersebut. “Fakta persidangan menunjukan, bahwa JPU sudah gagal dalam menghadirkan Zhu Ming Dong selaku saksi korban yang haruslah membuktikan dasar kepemilikannya atas barang yang diduga digelapkan oleh terdakwa. Sebab dari 64 sertifikat yang didakwakan oleh JPU digelapkan oleh terdakwa, justru sebanyak 38 sertifikat telah dikembalikan sendiri oleh penyidik kepolisian kepada PT Konawe Putra Propertindo. Sedangkan, 26 sertifikat lainnya masih berstatus dalam proses pemecahan sertifikat tanah antara PT Konawe Putra Propertindo dan bukan milik Zhu Ming Dong (PT VDNP),” ucapnya.
“Bila sertifikat yang dituduhkan oleh JPU digelapkan oleh terdakwa tersebut hingga saat ini masih sah menjadi milik PT Konawe Putra Propertindo, maka tindakan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai Dirut yang melakukan pengamanan terhadap seluruh sertifikat tersebut demi kepentingan PT Konawe Putra Propertindo secara hukum tidak memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan baik pada Pasal 372 KUHP maupun Pasal 374 KUHP dan sudah seharusnya terdakwa dinyatakan bebas atau setidaknya lepas dari segala tuntutan hukum,” jelasnya.
Dikatakannya, majelis hakim pun lupa, bahwa dari dua ratusan Barang Bukti (BB) yang dihadirkan oleh JPU di muka persidangan, seluruhnya tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai Bukti Surat Faktual dan hanyalah masuk dalam katagori alat bukti petunjuk yang masih harus dibuktikan persesuaiannya dengan pembuktian lain di muka persidangan. “Sementara, 26 sertifikat yang baru diajukan sita oleh JPU kepada majelis hakim setelah perkara ini berlangsung, justru malah menunjukan, bahwa sejak awal perkara aquo tidak memiliki bukti yang cukup untuk dapat diajukan ke muka persidangan dan tidak memenuhi aturan minimum alat bukti,” paparnya.
Namun, sambungnya, JPU dan majelis hakim seakan menutup mata dengan fakta persidangan tersebut. “Bila persidangan hanya untuk memenuhi prosedur hukum semata, sebaiknya tidak perlu ada persidangan. Cukup langsung dijatuhkan hukuman saja terhadap terdakwa agar perkara tidak berlarut-larut. Sebab percuma sidang berkepanjangan kalau fakta yang ada diabaikan dengan kacamata majelis hakim yang menjalankan perkara ini dengan presumption of guilty (azas menyalahkan). Putusan perkara ini jelas telah menambah preseden buruk matinya penegakan hukum di negeri ini,” tegasnya.
“Sebab ke depannya bila putusan ini dijadikan sebagai yurisprudensi, maka setiap orang dalam kapasitas jabatannya selaku Dirut suatu perusahaan sewaktu-waktu dapat diancam Pidana Penggelapan dengan Pasal 372 KUHP, walau hanya melakukan tindakan menyimpan atau mengamankan dokumen perusahaan demi kepentingan perusahannya sendiri,” katanya.
Tentu ke depannya, imbuhnya, tidak akan ada lagi orang yang berani dan mau menjabat sebagai Dirut suatu perusahaan dengan adanya putusan semacam ini. “Bila putusan yang demikian dibiarkan, maka akan kemana lagi pergi para pencari keadilan berteriak di negeri ini?” tanyanya.
“Semoga Yang Mulia Majelis Hakim ini, putusan yang dijatuhkan dengan penuh rasa ketidakadilan itu akan dipertanggungjawabkan di yaumil akhir nanti dan Allah SWT Hakim Yang Maha Adil akan membalas sesuai amal perbuatan yang telah diputuskan,” tandasnya. (Murgap)