Oleh : Tavinur S. Ramadhani
Tatkala kita mengingat sosok pahlawan, apakah pernah ada terlintas di benak kita tentang seorang Abdoel Moeis? Jauh melewati masa, kita mengenal Moeis sebagai seorang Sastrawan Kaliber; bahkan Ia dikenal juga sebagai seorang Top Demonstran yang melegenda. Mungkin, sesekali dalam paruh waktu tertentu, ada baiknya kita mengangkatnya sebagai bahan renungan, bahwa di negeri ini pernah hadir seorang yang demikian keras kepala dengan pendiriannya, dan yang ngotot dengan ide-ide progresifnya. Dan, semua itu dilakukannya dengan argumen dan nalar sehat, jelas dan terarah.
Kendati demikian, mengupas Moeis, bukan berarti kita terlena oleh melodrama sejarah atas epik perjuangannya, yang hanya dituangkan sekedarnya dalam kolom buku-buku sejarah mutakhir dewasa ini. Hakekatnya, membahas Moeis merupakan bagian dari sedikit upaya meruntut sejarah untuk, paling tidak menggugah nilai heroik kita dalam mengoreksi langkah-langkah kita mengemas dan menata negeri ini lebih bermartabat.
Moeis, dalam posisi kepahlawanannya, bagi kebanyakan generasi kekinian, seperti telah terkooptasi jaman. Ia merana dan terselip dalam tumpukan catatan sejarah terbawah negeri ini. Moeis sebagai seorang pahlawan, menjadi ibarat “fosil sejarah” yang terlupakan oleh derasnya kegandrungan terhadap budaya pop dan instrumen ngak-ngik-ngok dewasa ini. Nampaknya, Moeis sebagai pejuang, sosoknya telah terdegradasi oleh pahlawan produk rekaan media sejenis pahlawan DC Comics atau Marvel Studio yang diangkat ke dalam layar lebar.
Kendati fenomena ini bukan gejala parsial, faktanya tokoh pahlawan dalam gambaran dewasa ini, tidak lain adalah para Avanger. Mereka pahlawan-pahlawan yang terlahir oleh derasnya industrialisasi dan pemujaan terhadap teknologi dan informasi. Kita berharap, semoga gejala ini hanya merupakan fenomena sesaat.
Moeis dan Sjarikat Islam (SI) adalah satu kesatuan makna utuh. Ia tidak hanya telah memberi “karakter tegas” di tubuh SI sehingga disegani, juga dihujat, namun ia pun telah mewarnai catatan panjang sejarah kesinambungan bangsa ini. Kekaguman terhadapnya, boleh lah cukup dituliskan sebagai opini tentang orang-orang hebat terdahulu negeri ini. Moeis sebagai penggerak jaman dan SI mesinnya. Faktanya demikian.
Lantas, mampukah kesadaran kolektif kita meneropong perjuangannya? Lalu, memaknainya, tetapi bukan hanya sebagai bahan kajian keilmuan semata atau perbincangan di ruang-ruang akademis. Sederhananya, mengenangnya, bolehlah terbayarkan dengan mengingatnya lewat aubade lagu “telah gugur pahlawanku” yang dilantunkan dengan khidmat dan seksama saat prosesi peringatan Hari Pahlawan. Selanjutnya, dalam bahasa klise, sebuah harapan ditautkan, semoga spirit mereka mampu menggugah kesadaran terdalam kita untuk lebih bijak memerlakukan negeri ini.
Pembicaraan ihwal Moeis bukan soal pengkultusan sosok. Ini menyangkut kerinduan terdalam kita akan sosok panutan. Kita sangat rindu. Betapa rindunya. Rindu seorang “koordinator” ber-klas negarawan, yang mampu mengordinasikan olah pikir dan tindakan ke arah yang lebih kongkrit. Rindu lahirnya negarawan yang mampu mengontrol ‘kekuasaan’ menjadi ritme kebersamaan di semua sektor dan potensi sumber daya bangsa ini.
Kenyataannya, sampai saat ini, kita tetap disibukkan oleh kegaduhan mencari koordinator tersebut. Kisruh di semua lini (eksekutif, legislatif dan yudikatif), kita menyadari, bahwa kita keteteran. Jika demikian, akankah pada waktunya kita tergugah, merenungi kembali, mengadopsi spirit mereka yang dipredikati pahlawan, sejatinya pahlawan, dan diantara mereka terselip sosok Abdoel Moeis? Lalu, fosil sejarah itu pun akan tereduksi menjadi bahasa kebersamaan tentang Indonesia ‘yang apa adanya’. Indonesia yang sepenuhnya, yang berwibawa dan bermartabat.
Karena itu, mustahil memisah tautan sejarah ihwal eksis SI dengan peran Abdoel Moeis. Sebagai “fosil sejarah”, di era gaduh ini, upaya mengankat SI maupun Moeis, ibarat “menegakkan batang padi terendam.” Peran sejarah SI, Moeis dan para aktivisnya, mungkin hanya terlegendakan dalam catatan singkat pelajaran sejarah. Ia melegenda, namun belum sepenuhnya tergali sebagai fakta jujur dalam lakon peran perjalanan sejarah bangsa ini. Alhasil, upaya mengangkat kembali SI sebagai organisasi modern di era milenial ini, bukan sekedar persoalan sentimen formal keorganisasian atau keagamaan. Lebih dari itu, ia diharapkan menjadi motor penggerak yang mampu mengorganisir seluruh unsur solidaritas persaudaraan bangsa ini. Alhasil, pada gilirannya akan bermuara kepada terbangunnya kembali gagasan tentang ‘Indonesia yang sebenarnya’. Indonesia yang lebih baik.
Melalui spirit dan kedalaman kepekaan mereka: HOS. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Hamka, Soekarno, Kartosoewirjo, termasuk Abdoel Moeis dan sederet nama aktivis lain; SI diharapkan mampu berkelit dari arus tersungkurnya moralitas yang menghinggapi sebagian penyelenggara negara ini. Seperti kata Hamka “kalau hanya sekedar hidup, kera di hutan pun hidup.” Dan, SI tidak sekedar hidup. Kendati perlahan, SI pasti akan tetap hidup. Mungkin, tak harus berteriak, namun nyaring terdengar; tak harus berlari cepat, namun segera mencapai tujuan; tak harus kelihatan jumawa, namun dikagumi dan dicintai; dan seperti ditegaskan HOS. Tjokroaminoto lebih satu abad silam: “kita bukanlah seperempat bagian dari bangsa ini.” Dan kali ini, melalui catatan ringkas ini, kita akan memetik ‘sedikit’ hikmah dari “cerita epik” ihwal Abdoel Moeis.
Mencoba memahami Abdoel Moeis, seperti berguru ke masa silam. Lalu, kita berharap menarik faedah dari sikap kegigihan dan keuletannya. Hidup Moeis adalah pergulatan seorang demonstran. Bergerak dari satu moment ke moment lainnya, laksana seorang petualang. Keberpihakannya dalam menyuarakan kaum bumiputera tertindas, menjadi “bahasa pergerakannya”. Tutur bahasa penyampaiannya pun padat dan tegas. Ini tercermin dari karakter penokohan tokoh di setiap roman-roman yang ditulisnya.
Nyaris setiap penggambaran sosok seseorang dan dinamika yang berkembang sekitarnya, dilukiskan Moeis dalam frasa kata yang pas tanpa berbelit-belit. Begitu pula dalam orasi-orasinya, Moeis mampu mengangkat emosi massa untuk tergerak mengikuti saran dan instruksinya. Kecakapan dan nalar yang runtut dalam sosok Moeis ini, sulit ditemukan dalam sosok pemimpin saat ini.
Pendiriannya tetap bergeming, kendati harus berhadapan dengan moncong popor senjata pasukan Belanda. Pelbagai peristiwa pembangkangan di Bandung, Garut, Padang, Morotai, Yogyakarta, Perkebunan Deli, dan letupan-letupan lain di Nusantara pada saat itu, tidak sedikit yang diinisiasi Moeis. Boleh dikata, karena pergerakannya itu Moeis menjadi langganan pemanggilan atau penangkapan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pengenalan Moeis terhadap Sjarikat Islam (SI), diawali melalui cerita H. Agus Salim, yang telah terlebih dahulu bergabung dengan SI atas undangan Tjokroaminoto. H. Agus Salim, selain masih memiliki tali temali famili dengan Moeis, dimana dalam pergulatan selanjutnya di tubuh SI, mereka menjadi partner seiring membesarkan SI. Bahkan, Moeis juga dikatakan masih memiliki hubungan keluarga dengan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah (1860-1916), yang pernah menjadi Mufti Imam Masjidil Haram, Mekkah. Syaikh Ahmad Khatib juga menjabat Kepala Sekolah Mazhab Imam Syafi’i di Mesjidil Haram Mekkah. Tak sedikit, di paruh awal abad ke-20 ulama dan kaum reformis Islam yang bertanya dan belajar kepada beliau, termasuk KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, serta sejumlah ulama Nusantara lainnya (Deliar Noer, 1980 : 122).
Sebenarnya kehadiran Moeis di SI merupakan permintaan langsung Tjokroaminoto. Moeis dinilai memiliki pendidikan dan pengalaman luas, disertai sifat dan sikap pandangan radikal terhadap ketidakadilan dan segala macam hal ihwal penderitaan orang-orang Indonesia. Sifat dan sikap inilah yang menurut Tjokroaminoto diperlukan pada masa itu untuk membina gerakan SI. Di Tahun 1912, Tjokroaminoto mengirim dua orang utusan ke Bandung untuk menemui beberapa orang, termasuk Wignyadisastra, Moeis dan Suwardi Surjaningrat (kemudian dikenal dengan Ki Hajar Dewantara), untuk memperkuat Sjarikat Islam. Ketiga orang ini, selanjutnya secara berurutan menjadi ketua, wakil ketua dan sekretaris SI di Bandung (Deliar Noer, 1980 : 123).
Tidak hanya itu, tulisan atau opininya di pelbagai koran saat itu, dinilai sangat berdampak luas terhadap kebangkitan penduduk bumiputera. Selain memuat gelora perlawanan terhadap penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintah Belanda, tulisan Moeis pun menggugah terhadap diberlakukannya pengenaan lebih luas hak-hak bumiputera dalam mengelola asset di daerahnya. Moeis menolak perlakuan tak senonoh terhadap hak-hak pekerja di perusahaan-perusahaan kolonial, seperti di perusahaan perkebunan, jawatan kereta api, jawatan listrik, perusahaan perbankan, pegadaian atau perusahaan yang berafiliasi dengan negara asing lain. Keberpihakan Moeis terlihat tatkala Ia memutuskan hengkang dari tempat kerjanya, Departemen Pengajaran dan Keagamaan (Department van Onderwijs & Eredienst), karena kerapnya Ia melihat kasus pungutan liar yang dilakukan lurah dan kaum priyayi rendahan terhadap orang-orang desa (Deliar Noer, 1995:122-123).
Tak hanya Mohammad Hatta (Wakil Presiden Pertama RI) yang mengagumi Abdoel Moeis. Dalam sebuah tulisannya, Moeis pun dipuji Tan Malaka, seorang aktivis komunis internasional. Tan Malaka menyebut Moeis sebagai inti dari penduduk bumiputera. Karena itu, Ia menempatkan Moeis sebagai seorang tokoh terkemuka yang berjuang untuk memberi kesadaran kaum pribumi; dia pun asal Minangkabau (Poeze, 1988: 63). Kendati kerap bertemu dan berdikusi dengan Tan Malaka, namun ketidakcocokan pandangan dan perbedaan jalur ideologi yang mereka anut, Islam dan Komunisme, tidak lantas mengurangi kekerabatan diantara mereka. Moeis dimata Tan Malaka dipandang sebagai seorang yang memiliki pendirian teguh. Hal ini nampak dari penolakan keras Central Sjarikat Islam (CSI) yang diprakarsai Moeis, terhadap ide dan propaganda PKI dalam menempuh jalur perjuangan menghadapi kebijakan Belanda. Lebih spesifik lagi, kegigihan sikap Moeis yang tegas, terlihat lewat perannya dalam pemurnian Sjarikat Islam dari penyimpangan pemahaman orang-orang “muslim kiri”, yang merupakan embrio Partai Komunis Indonesia (PKI).