Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor pada pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Wirjono Projodikoro 3, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (16/05/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, beberapa waktu lalu.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, Legal atau Konsultan Hukum PT EKI Isdar Yusuf SH, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Agenda sidang hari ini, jaksa membacakan tuntutannya kepada ketiga terdakwa di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Terdakwa Budi Sylvana dituntut pidana penjara selama 4 tahun dalam kasus dugaan korupsi pengadaan APD Covid-19 Kemenkes RI pada 2020.
Tak hanya pidana penjara, terdakwa Budi Sylvana juga dituntut agar dikenakan pidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Selain terdakwa Budi Sylvana, terdakwa Satrio Wibowo dituntut agar dijatuhi pidana penjara selama 14 tahun dan 10 bulan penjara, sedangkan Ahmad Taufik selama 14 tahun dan 4 bulan.
Terdakwa Satrio Wibowo dan Ahmad Taufik juga dituntut agar dikenakan pidana denda masing-masing sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara. Tak hanya itu, baik terdakwa Satrio Wibowo maupun Ahmad Taufik, turut dituntut agar dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti masing-masing sebesar Rp59,98 miliar subsider 4 tahun penjara serta senilai Rp224,18 miliar subsider 6 tahun penjara
Dengan demikian, JPU meyakini perbuatan ketiga terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH merasa keberatan atas tuntutan jaksa kepada kliennya karena banyak fakta di persidangan tidak ada, bahkan fakta yang tidak ada di persidangan, jadi ada.
“Yang pasti, Covid-19 itu kondisinya benar-benar emergency (darurat) dan ada aturan diskursus pada saat penanganan Covid-19, tadi tidak disinggung. Justru yang dikedepankan dalam tuntutan jaksa adalah UU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Keadaan Darurat,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Walaupun kondisinya sama-sama darurat, tetapi penerapan situasinya kan jelas akan berbeda sekali karena sudah ada ketentuan pada saat Covid-19 itu kan karena sifatnya yang sangat kritis, jadi pengadaan bisa dilakukan terlebih dahulu,” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
Dikatakannya, mengenai harga itu kan belum mengikat. “Harga sudah diatur mengikat, harga final adalah setelah audit dan tidak ada masalah dengan itu. Dengan para penyedia juga sudah ada pakta integritas mengenai harga final. Tapi di sini yang dipersoalkan adalah harga penawaran dan harga pembayaran yang pada saat pembayaran yang sebenarnya itu bukan harga final. Jadi ada yang tidak konsisten dari jaksa melihat situasinya. Nanti kita melihat di Nota Pembelaan (Pledoi),” paparnya.
Dalam tuntutan jaksa, keterangan saksi yang hadir di muka persidangan dibaca semua. “Cuma banyak keterangan yang tidak ada di persidangan tapi diulas semua di tuntutan jaksa. Padahal, di muka persidangan tidak ada keterangan -keterangan yang dibaca oleh jaksa di tuntutannya tidak muncul di persidangan,” katanya.
Diakuinya, semua tuntutan jaksa memberatkan buat kliennya. “Klien saya (terdakwa Budi Sylvana) pada waktu itu sudah bekerja keras memenuhi target APD, jika kita mengacu kepada dakwaan ataupun tuntutan jaksa, harusnya menggunakan aturan-aturan yang disampaikan tadi oleh jaksa, ini kondisi kritis pada saat itu akan lebih berat karena tidak akan mungkin tersedia APD secepat seperti yang kemarin terlaksana. Artinya, kemarin sudah cukup bagus dengan aturan yang sudah ada,” terangnya.
“Jadi saat terjadi pandemi Covid-19 tidak hanya kondisinya darurat tapi kejadian luar biasa (extraordinary) saat itu,” ucapnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Jum’at (23/05/2025) dengan pembacaan Nota Pledoi tim Kuasa Hukum ketiga terdakwa. “Yang pasti kan posisi terdakwa Budi Sylvana sebagai PPK Kemenkes RI pada saat itu sebagai PPK Kemenkes RI pengganti, dia ditugaskan pada saat negosiasi harga sudah terjadi, pengambilan barang-barang APD sudah terjadi, sudah ada kesepakatan-kesepakatan pembayaran, jadi terdakwa Budi Sylvana hanya melaksanakan apa yang sudah ditetapkan sebelumnya,” tandasnya. (Murgap)