Andi Syarifudin SH
Jakarta, Madina Line.Com –
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan terkait perkara kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, dengan terdakwa mantan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia (Ses MA RI) Zarof Ricar, ibu Gregorius Ronald Tannur, Meirizka Wijaya, dan pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rahmat SH, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (15/05/2025).
Agenda sidang kali ini, Kuasa Hukum terdakwa pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rahmat SH menghadirkan Ahli Hukum Pidana Dr Mudzakir SH MH untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rahmat SH, Andi Syarifudin SH mengatakan, pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya Pasal 5 Juncto (Jo) Pasal 6 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor terkait suap.
“Kalau dikaitkan dengan Pasal 15 dengan pemufakatan jahat (mensrea) itu menurut penjelasan Ahli Hukum Pidana berdasarkan dengan keterangan saya, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) yang penambahan unsur, dikatakan, bahwa orang yang bersepakat itu haruslah memiliki kualitas yang sama,” ujar Andi Syarifudin SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Ia mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan kualitas yang sama. “Nah, dijawab lah oleh Ahli Hukum Pidana, bahwa kualitas yang sama itu harus penyuap itu swasta dan penerima suap itu harus lah Pegawai Negeri Sipil (PNS),” terangnya.
“Itu lah yang harus bersepakat. Artinya, yang harus bersepakat di sini penyuap dan penerima dan penerimanya harus PNS karena berkaitan dengan Tipikor,” ungkapnya.
Dikatakannya, Tipikor dihubungkan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor ada penyalahgunaan wewenang. “Yang melakukan penyalahgunaan wewenang adalah PNS atau penyelenggara negara. Terus bagaimana dengan terdakwa Zarof Ricar yang saat ini statusnya bukan PNS lagi? Bagaimana dengan terdakwa Lisa Rahmat SH yang bukan PNS, orang yang diduga bersepakat? Artinya, Pasal 15 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor menurut Ahli Hukum Pidana, tidak memenuhi unsur,” urainya.
“Nah, mengacu kepada azas hukum itu, bahwa apabila perbuatan itu tidak memenuhi unsur, maka tidak dapat dipidana,” tegasnya.
Artinya, sambungnya, perbuatan terdakwa Lisa Rahmat SH terkait Pasal 15 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang didakwakan oleh jaksa, menurut keterangan Ahli Hukum Pidana, bahwa itu tidak dapat dipidana. “Karena orang yang bersepakat itu bukanlah PNS,” paparnya.
“Tadi saya tanyakan kepada Ahli Hukum Pidana, saudara Ahli berdasarkan penjelasan saudara Ahli di awal, bahwa peristiwa ini adalah peristiwa lampau. Artinya, tidaklah ketangkap tangan. Kalau tidak ketangkap tangan berarti ada proses penyelidikan dan proses penyidikan. Nah, ini tidak ada proses penyelidikan dan penyidikan. Terus langsung digeledah dan ditangkap dan dijadikan tersangka,” ucapnya.
Bahkan, sambungnya. orang yang dijadikan tersangka itu adalah hakim yang harusnya mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung (MA) RI berdasarkan dengan Peraturan MA RI. “Tapi ini kan tidak dilakukan dan ini bukan tertangkap tangan dan ini masalah di masa lampau. Pertanyaannya, saudara Ahli saya bilang, ketika proses hukum itu diawali dengan secara tidak sah kemudian dibawa ke PN Jakpus ini, diproses dan terdakwanya dijatuhi hukuman bersalah. Pertanyaannya, apakah putusan itu masih bisa dikatakan sah dan meyakinkan? Sementara, diawali dengan proses yang tidak sah. Apa jawab Ahli Hukum Pidana? Jawabnya, oh tidak sah, itu batal demi hukum putusan itu. Ini fakta yang kita temukan,” tegasnya.
Dijelaskannya, bahwa kliennya (terdakwa Lisa Rahmat SH) tidak ketangkap tangan. “Tapi tidak dilakukan proses penyelidikan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa harus ada penyelidikan, penyidikan dan selanjutnya ada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDB), lalu ada izin dari pengadilan baru dilakukan penggeledahan. Ini kan tidak,” ucapnya.
“Bukan ketangkap tangan. Tiba-tiba langsung melakukan penggeledahan, penangkapan lalu dibawa ke kantor penyidik dijadikan tersangka dan ditahan. Makanya, tadi saya pertanyakan, ini kan proses hukum tidak sah. Lalu bagaimana kalau proses hukum itu tidak sah dibawa ke pengadilan lalu disidangkan dan dijatuhi hukuman bersalah? Vonis bersalah. Bagaimana dengan keputusannya itu? Sementara, proses awalnya tidak sah, kata Ahli Hukum Pidana, itu batal demi hukum,” jelasnya.
Menurutnya, setiap putusan itu mengatakan, sah dan meyakinkan. “Nah, dapat dilihat itu tidak sah. Bagaimana dikatakan sah dan meyakinkan, sementara proses hukumnya tidak sah. Apa kata Ahli Hukum Pidana? Jawab Ahli Hukum Pidana itu batal demi hukum. Batal demi hukum itu tidak perlu diuji di pengadilan. Beda kalau dapat dibatalkan. Kalau dapat dibatalkan itu harus melalui pengadilan,” terangnya.
“Tapi kalau batal demi hukum itu berarti tidak ada nilai hukumnya,” katanya.
Berdasarkan Hukum Acara, imbuhnya, apa pun yang disita itu kalau obyeknya penyitaan dan berapa nilainya, kalau misalnya nilainya Rp5 miliar, maka uang Rp5 miliar lah yang disita. “Tidak boleh disita yang lainnya. Apa kata Ahli Hukum Pidana? Kalau itu dilakukan, berarti itu Perbuatan Melawan Hukum (PMH), itu yang pertama. Kedua, terdakwa Lisa Rahmat SH dituduh melakukan penyuapan, kalau dia melakukan penyuapan, uangnya itu sudah berpindah kan kepada yang disuap. Bagaimana bisa orang yang dituduh penyuapan, uangnya diambil di rumahnya. Logika bagaimana itu?” tanyanya.
“Kalau barang itu ada dua yakni barang hasil kejahatan dan barang sebagai alat untuk melakukan tindak kejahatan. Kalau penyuap itu, berarti si A suap si B. Berarti barang ini dipergunakan untuk melakukan penyuapan, berarti barang ini berpindah menjadi barang hasil kejahatan milik orang. Tapi perkara terdakwa Lisa Rahmat SH, kok ada uang di rumahnya orang disita semua. Dasar hukumnya apa itu? Katanya terdakwa Lisa Rahmat SH dituduh menyuap. Kalau dia diduga menyuap berarti uangnya sudah berpindah,” katanya.
Ia menilai keterangan Ahli Hukum Pidana obyektif. “Tidak seperti kemarin, Ahli yang dihadirkan oleh jaksa, berputar-putar jawabannya. Lain ditanya lain dijawab. Berputar-putar jawabannya seperti baling-baling helikopter,” tuturnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Senin (19/05/2025) dengan pemeriksaan terdakwa. “Persiapan klien kami, sesuai apa yang dialami. Iya apa yang kau alami, kalau suap ya suap kalau tidak ya tidak. Kan begitu kira-kira,” tandasnya.
Jaksa mendakwa terdakwa
Lisa Rachmat SH dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a, atau Pasal 5 ayat (1) huruf a Jo Pasal 18 dan Pasal 15 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Murgap)