Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Basuki SH MM MH didampingi anggota tim Kuasa Hukumnya saat jumpa pers di luar ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (29/04/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com –
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan terkait dugaan Tipikor pada perkara kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Erintuah Damanik dan Mangapul, di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (29/04/2025).
Agenda sidang kali ini, ketiga terdakwa membacakan Nota Pembelaan atau Pledoi atas pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada ketiga terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Erintuah Damanik dan Mangapul. Dalam tuntutan JPU, terdakwa Heru Hanindyo, dituntut hukuman 12 tahun kurungan penjara paling berat dibanding dengan 2 (dua) terdakwa lainnya yakni Erintuah Damanik dan Mangapul yang dituntut hukuman masing-masing 9 tahun hukuman kurungan penjara.
Terdakwa Heru Hanindyo dituntut hukuman tinggi karena dinilai paling tidak kooperatif dibanding dua rekannya yang juga menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi yakni Erintuah Damanik dan Mangapul. Jaksa menilai terdakwa Heru Hanindyo tidak menunjukan sikap kooperatif selama proses hukum dan tidak mengakui perbuatannya.
Selain itu, perbuatannya disebut menciderai kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. “Terdakwa tidak bersikap kooperatif dan tidak mengakui perbuatannya,” kata jaksa dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (22/04/2025).
Terdakwa Heru Hanindyo juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp750 juta, dengan ketentuan subsider 6 (enam) bulan penjara, jika tidak dibayar. Satu-satunya hal yang meringankan tuntutan terhadap terdakwa Heru Hanindyo adalah karena ia belum pernah dihukum sebelumnya.
Dua hakim lainnya, terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul, masing-masing dituntut pidana kurungan penjara 9 tahun dengan membayar uang denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan penjara. Keduanya juga menjadi bagian dari majelis hakim yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur.
Ketiga hakim tersebut dijerat dengan Pasal 5 ayat (2) Juncto (Jo) Pasal 6 ayat (2) Jo Pasal 12 huruf e Jo Pasal 12B Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kasus ini, mereka diduga menerima suap untuk menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan terhadap Dini Sera Afriyanti yang berujung kematian.
Terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo membacakan Nota Pledoi (Pembelaan) di hadapan majelis hakim, JPU dan tim Kuasa Hukum terdakwa di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (29/04/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Basuki SH MM MH mengatakan, di dalam persidangan tidak ada satu saksi pun yang mampu menerangkan, bahwa kliennya menerima imbalan berupa apa pun termasuk uang seperti yang disebutkan dalam tuntutan JPU. “Tadi Nota Pledoi yang dibacakan oleh terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo di muka persidangan, dibacakan sudah cukup jelas dan kami juga telah melampirkan bukti-bukti tertulis dan kami buat dalam satu urutan yang baik, bahwa pada tanggal 1 Juni 2024, Ketua Hakim PN Surabaya yang menyidangkan kasus Gregorius Ronald Tannur, Erintuah Damanik menyampaikan, bahwa Erintuah Damanik bertemu dengan pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rahmat SH yang juga telah disidangkan dalam perkara ini, itu bertemu di Semarang dan faktanya tadi juga disampaikan, bahwa tanggal 1 Juni 2024 adalah semua Aparatur Sipil Negara (ASN) itu pada melaksanakan upacara kegiatan memperingati Hari Lahir Pancasila,” ujar Basuki SH MM MH kepada wartawan saat jumpa pers usai acara sidang ini.
Menurutnya, sangat mustahil hal itu terjadi. “Kemudian, tanggal 3 Juni 2024 disampaikan oleh Erintuah Damanik itu laporan kepada terdakwa Heru Hanindyo dan Mangapul juga terbantahkan. Faktanya pada tanggal 3 Juni 2025, terdakwa Erintuah Damanik sedang ke Jakarta cek gigi sekaligus operasi. Jadi keterangan yang disampaikan oleh Erintuah Damanik itu kontradiktif dengan fakta,” tegasnya.
“Saya kasih gambaran sederhana, saat ini saya tuduh teman-teman salah seorang si A itu mengambil sandal di salah satu mushalla pukul 19.00 WIB. Padahal, si A itu pukul 19.00 WIB sedang bersama orang tuanya sedang makan bakso. Jadi jelas sudah terpatahkan,” ungkapnya.
Ia yakin hukuman kepada kliennya akan ringan. “Seorang hakim memutus satu perkara itu bukan berdasarkan tekanan apa pun tapi adalah fakta persidangan dan keyakinan hatinya. Kami selaku penasehat hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo bersama tim sudah semaksimal mungkin memberi fakta yang terbaik dan sekali lagi selama proses persidangan tidak satu pun orang saks memberikan bukti seperti apa yang didakwakan oleh JPU dan dalam tuntutannya kliennya diduga menerima uang atau barang yang lain,” paparnya.
Untuk tim Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, sambungnya, berupaya akan hadir di sidang pembacaan tanggapan oleh JPU atas pembacaan Nota Pledoi tim Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo pada Jum’at (02/05/2025). “Kami juga akan segera mempersiapkan untuk tanggapan atas apa yang eksepsi (keberatan) jaksa sampaikan,” tuturnya.
Ia mengharapkan Nota Pledoi yang dibacakannya bisa menjadi acuan yang terbaik. Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Yoni Agus Setyono SH MH menambahkan, dalam pembuktian pidana itu ada yang dikenal teori negatif.
“Hakim itu yakinnya berdasarkan dua alat bukti. Dari data-data yang disampaikan di dalam persidangan, JPU tidak bisa membuktikan. Kemudian, ada tanggal-tanggal yang selalu tidak konsisten dari perkara ini. Yang tadinya tanggal 1 Juni 2024 menjadi tanggal 10 Juni 2024 tanpa ada alasan hukum,” ujar Yoni Agus Setyono SH MH kepada wartawan saat jumpa pers ketika ditemui usai acara sidang ini.
Padahal, sambungnya, pada tempat sidang lain pada perkara yang sama, kliennya sibuk dan tanggal 1 Juni 2024 itu peringatan Hari Lahir Pancasila. “Jadi tidak mungkin dalam waktu yang sama, klien kami melakukan. Pengacara Lisa Rahmat SH juga menjelaskan di dalam persidangan tidak pernah memberikan karena memang tanggal 1 Juni 2024 tidak ada pertemuan kliennya dengan Lisa Rahmat SH,” terangnya.
“Jadi logika hukumnya tidak sesuai dengan fakta di persidangan. Jadi dakwaan JPU tidak bisa membuktikan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) klien kami karena tidak ada kesepakatan. Jadi pertemuan kesepakatan atau meeting of mind itu tidak ada,” paparnya.
Dikatakannya, menurut kliennya di muka persidangan yang mengadakan pertemuan sendiri adalah Erintuah Damanik. “Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) itu seorang pelaku utama tidak bisa dijadikan Justice Collaboratur (JC). Itu menurut Ahli Prof Dr Eva mengatakan, keterangan JC dilakukan dengan itikad baik dengan data-data tidak benar bertentangan dengan Hak Azazi Manusia (HAM) itu sendiri. Ada yuris prudensial yang tidak setuju dengan saksi mahkota tadi,” tandasnya. (Murgap)