Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor pada pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (25/04/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, beberapa waktu lalu.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, Legal atau Konsultan Hukum PT EKI Isdar Yusuf SH, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Agenda sidang hari ini, jaksa menghadirkan Ahli Perhitungan Kerugian Negara dari BPKP RI Dedi dan Praktisi Akuntansi Forensik Miftah Rahman untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH mengatakan, secara umum keterangan dari Ahli Perhitungan Kerugian Negara dari BPKP RI di muka persidangan tidak konsisten.
“Di satu sisi dia menyebutkan ada aturan – aturan yang dilanggar. Sementara, kita punya acuan dasar Surat Edaran (SE) dari Pengadaan Nomor 03 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kondisi Darurat Covid-19,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Ahli juga menyatakan, bahwa pembelian barang-barang tersebut bisa langsung dibeli kepada produsen. Padahal, dalam realitanya itu tidak mungkin dilaksanakan karena tidak ada aturan yang bisa mengatur. Tadi juga disinggung perusahaan Penyertaan Modal Asing (PMA) Korea ini karena harus ada penunjukan agen lokal di sini,” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
Artinya, sambungnya, apa yang Ahli Perhitungan Kerugian Negara dari BPKP RI yang didahlilkan tersebut itu adalah kondisi ideal untuk mendapatkan harga yang termurah. “Tapi itu tidak bisa dilaksanakan. Secara aturan itu tidak mungkin untuk dilaksanakan. Jadi di sini keterangannya ada pertentangan,” paparnya.
Ia menilai keterangan Ahli Perhitungan Kerugian Negara dari BPKP RI tidak bisa diaplikasikan di dalam kondisi Covid-19 pada tahun 2020. “Cara perhitungan Ahli soal kerugian negara secara ideal. Tapi kan itu ironinya dipakai sebagai dasar oleh KPK untuk menyatakan jumlah kerugian negara,” katanya.
Menurutnya, padahal itu kondisi yang tidak terbukti. “Itu harga pabrikan. Sementara, realita di lapangan, ada cost – cost (biaya – biaya) lain di luar itu yang belum dimasukan di dalam perhitungan. Jadi tidak bisa dipakai acuan perhitungan kerugian keuangan negara yang disampaikan oleh Ahli,” tegasnya.
Dijelaskannya, biaya – biaya tambahan itu belum dimasukan ke dalam perhitungan Ahli. “Sementara, sudah ada audit yang pertama yang menyatakan tentang harga yang wajar. Sebenarnya, itu yang seharusnya dihitung. Harga yang wajar kan cuma Rp8 miliar yang dinyatakan ada nilai yang harus dikembalikan. Bertolak belakang dengan harga pabrikan sebagai acuan kerugian negara. Itu sangat tidak relevan,,” terangnya.
Dikatakannya, keterangan Praktisi Akuntansi Forensik terkait kliennya (terdakwa Budi Sylvana) itu cuma anomali. “Tapi itu bisa menyesatkan karena itu masuk di dalam seolah – olah dia berpendapat walaupun disitu disebut anomali dan ada dugaan itu atas perintah dari klien kami (terdakwa Budi Sylvana). Di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Ahli Praktisi Akuntansi Forensik disebutkan seperti itu. Saya pikir keterangan Ahli itu sudah melebihi batas kewenangan Ahli,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Ahli Praktisi Akuntansi Forensik tidak mengatakan seperti itu. “Dia kan Ahli bukan saksi,” ucapnya.
Menurutnya, Ahli Praktisi Akuntansi Forensik seharusnya tidak beranggapan seperri itu di muka persidangan. “Krena itu adalah asumsi Ahli,” tuturnya.
“Sidang akan digelar pada 5 Mei 2025, kita akan menghadirkan Ahli dari sisi perundang-undangan yang mengatur tata cara tentang keadaan – keadaan kondisi darurat. Di situ sudah ada juga aturan-aturan yang mengatur itu. Jadi lebih menyelaraskan. Yang mana sih yang seharusnya dipandang di dalam kondisi darurat pada saat Covid-19,” tandasnya. (Murgap)