Rudy Marjono SH
Jakarta, Madina Line.Com – Advokat muda Rudy Marjono SH menanggapi serius terkait adanya pengacara yang tertangkap akhir-akhir ini dan sedang ramai pemberitaannya di media sosial (medsos) terkait karena adanya dugaan suap kepada hakim.
Menurutnya, advokat dalam menjalankan profesinya sudah dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. “Artinya, advokat tidak bisa dituntut secara perdata maupun secara pidana ketika sedang menjalankan profesi itu baik di dalam pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi) dengan itikad baik,” ujar Rudy Marjono SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (23/04/2025).
“Jadi artinya, apa ukuran itikad baik? Advokat itu menjalankan tugasnya sesuai profesinya dengan menjunjung tinggi marwah advokat,” terangnya.
Dikatakannya, bilamana advokat itu menjalankan profesinya tapi ada itikad tidak baik, suatu misal, merekayasa bukti, memalsukan bukti, melakukan penyuapan, itu beda lagi. “Artinya, tetap advokat bisa dikenai tuntutan pidana dan perdata juga,” tegasnya.
“Persoalannya sebenarnya kalau masalah perdebatan, perbedaan wacana hukum atau persepsi hukum, itu sah-sah saja. Kita berdebat atau keberatan atas penangkapan boleh. Itu bukan dari menghalangi penyidikan,” ucapnya.
Cuma kalau itu dikondisikan menjadi hal-hal yang menghalangi jalannya penyidikan atau hal-hal yang merintangi (contempt of court) atau obstruction of justice, sambungnya, itu harus diri dululah penegakan hukum. “Di mana contempt of court-nya dan di mana obstruction of justice-nya? Jadi tidak serta merta harus keberatan atas penangkapan, lalu itu dianggap obstruction of justice atau menghalangi. Itu jangan sampai disikapi seperti itu,” imbaunya.
“Saya sependapat dengan pendapat dari senior kita Frederick Yunadi yang menyampaikan juga seringkali bukan hukum acara yang menghalangi kita untuk melakukan penindakan atau legal action tapi kadang-kadang Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada di setiap institusi berbeda. Di kepolisian, di kejaksaan, di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan di pengadilan,” katanya.
Sedangkan, dalam konteks hukum acara pidana dulu, imbuhnya, itu jelas norma yang mengatur, bahwa pengacara berhak menemui kliennya sewaktu-waktu. “Tapi faktanya dibatasi dengan jam kunjungan dan dibatasi ini masalah sterilisasi dan macam-macam lah yang membuat kita kadang-kadang mau melangkah, malah kesulitan,” ungkapnya.
“Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah memberikan perlindungan atau hak untuk kita menjalankan profesi kita sebagai advokat untuk mendampingi klien melakukan jasa hukum yang terbaik untuk klien tapi seringkali di lapangan, kita berbenturan dengan SOP-SOP yang sebenarnya itu menyeimbangi hukum acara,” ucapnya.
Dikatakannya, SOP itu dibuat oleh institusi penegak hukum masing-masing. “Makanya, SOP ini kadang-kadang tidak sejalan dengan hukum acaranya,” jelasnya.
Ia merasa kecewa dengan adanya SOP yang ada saat ini. “Artinya, kita tidak diberikan ruang kebebasan hak imunitas atau prioritas. Kalau advokat harusnya jangan disamakan dengan tamu ataupun keluarga dari klien. Karena kita ini melakukan penanganan masalah hukum klien. Sedangkan, masalah hukum itu kan perkembangannya dinamis. Misal, kemarin dinyatakan sebagai saksi, sedangkan sekarang statusnya berubah menjadi tersangka dan besoknya menjadi terdakwa. Sedangkan, dalam durasi waktu itu kan sebenarnya ada hal-hal yang perlu kita sampaikan kepada klien tapi kendala yang sering terjadi di lapangan karena SOP itu tadi, sehingga apa yang kita harapkan dan banggakan dengan KUHAP yang dulu, bahwa advokat diberi hak bisa menemui klien kapan saja, itu tidak dibatasi waktu,” urainya.
Ia mengatakan, perlu banget ada reformasi penegakan hukum di Indonesia. “Reformasi itu paling tidak penegakan hukum selain tidak tebang pilih. Artinya, semua di mata hukum sama, baik itu masyarakat biasa, pejabat, maupun petinggi negara, sama saja. Artinya, perlakuan yang sama di mata hukum sepanjang itu sebagai advokat bisa menjalankan profesi juga tanpa harus memilah-milah,” tuturnya.
“Artinya, kalau klien kita masyarakat biasa diperlakukannya berbeda dengan klien yang pejabat atau petinggi negara, harus sama lah, equality before the law (di mata hukum kita semua sama) harus di nomor satukan. Harapan kami seperti itu, sehingga kita menjumpai klien dalam melakukan pendampingan klien diperlakukan sama. Tidak tebang pilih atau pilih kasih,” ujarnya.
Ia mengharapkan di dalam Rancangan KUHAP yang baru nanti yang saat ini masih dibahas, dalam setiap tindakan yang menyangkut hak kemerdekaan seseorang itu harus hati-hati. “Artinya, harus ada filterisasi, harus ada koreksi. Entah itu hakim pengawas kah atau institusi yang tidak serta merta menjadi over (kelebihan) kemenangan dari kepolisian atau kejaksaan. Harusnya ada imbangan layak atau tidaknya seseorang itu ditahan atau tidak ditahan. Itu harus ada kontrol dan filterisasi, sehingga tidak semau gue. Hanya alasan subyektif, penyidik karena berhak menahan, maka menahan,” katanya.
“Padahal, sebenarnya urgensi dari menahan seseorang itu kalau tersangka dikhawatirkan melarikan diri. Tapi kalau ada jaminan keluarga atau ada proteksi dari pengacara, kenapa harus ditahan? Kita nantinya melihat, bahwa azas praduga tidak bersalah (presumption of innocent)-nya di mana? Azas praduga tak bersalah itu harusnya di awal. Tapi kadang-kadang kan tidak,” terangnya.
Menurutnya, yang terjadi saat ini, orang ditahan dulu sebelum ada putusan dari hakim pengadilan. “Akhirnya, kalau tidak terbukti bebas. Tapi kan orang itu sudah merasa ditahan. Orang itu sudah merasa dipersalahkan. Orang itu sudah dianggap salah dulu dan benar belakangan. Diduga bersalah dulu baru nanti dihukum,” kata Rudy Marjono SH yang saat ini sibuk sidang di perkara perdata ini. (Murgap)