Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor pada pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (14/04/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (04/02/2025).
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, Legal atau Konsultan Hukum PT EKI Isdar Yusuf SH, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Agenda sidang hari ini, jaksa menghadirkan saksi
Komut PT PPM Siti Fatimah Az Zahra untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Dalam keterangan saksi Siti Fatimah Az Zahra, ia menggambarkan situasi bagaimana mulanya terjadinya pemesanan APD dan adanya pertemuan atau meeting pada 24 Maret 2020, 26 Maret 2020, dan 28 Maret 2020.
Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH mengatakan, keterangan saksi Siti Fatimah Az Zahra, cukup bagus dan mencerahkan. “Mudah-mudahan keterangan saksi pada sidang hari ini bisa mencerahkan para terdakwa yang kemarin-kemarin belum tersampaikan. Mudah-mudahan di saksi-saksi berikutnya lebih detail lagi penjelasannya,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, terkait keterangan kliennya di muka persidangan yang mengatakan, saksi Siti Fatimah Az Zahra ada rencana ketemu di ruang kerja kliennya dengan membawa tas, belum bisa diklarifikasi dan lebih kepada personal sifatnya dan saksi juga menerangkan tidak tahu dan tidak ada rencana ingin ketemu seperti yang ditanyakan kliennya kepada saksi, di muka persidangan dan realitanya, kliennya juga tidak ada menerima apa-apa dari saksi. “Tadi majelis hakim juga menengahi, bahwa pada prinsipnya tidak terjadi peristiwa tersebut,” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
Terkait cek kosong, sambungnya, terdakwa Satrio Wibowo juga menjelaskan dengan baik di muka persidangan, bahwa situasinya tidak sama yang disampaikan oleh pihak jaksa, bahwa ada pembayaran berupa cek tapi ceknya tidak ada isinya, realitanya tidak seperti itu. “Realitanya, bahwa cek itu tidak pernah dicairkan karena sudah ada pembayaran sebelumnya. Cek terakhir memang ada kosong tersebut karena memang belum ada pembayaran dari pihak Kemenkes RI,” tegasnya.
“Jadi kalau Kemenkes RI melakukan pembayaran ke PT PPM dan mungkin PT PPM bisa membayar ke PT EKI, maka cek itu tidak akan ada masalah,” katanya.
Dijelaskannya, pemberian cek kosong tersebut diketahui setelah digelarnya rapat. “Jatuh temponya pada 30 Maret 2020. Cek itu sebenarnya tidak diperlukan juga,” paparnya.
Menurutnya, terbenturnya justru dari pihak Kemenkes RI itu sendiri karena adanya keterlambatan pembayaran (back date). “Menjadi persoalan bagi klien kami (terdakwa Budi Sylvana) seolah ada semacam kerjasama. Tapi tadi dijelaskan situasinya semua under pressure (tertekan) dan pada saat itu memang terdakwa Budi Sylvana selaku PPK Kemenkes RI, pengganti PPK Kemenkes RI sebelumnya, tidak mau membayar tapi karena kebutuhan pendanaan dari pihak penyedia untuk menyediakan APD membutuhkan dana, suka tidak suka, Kepala BNPB saat itu (Alm) Doni Monardo, meminta agar segera dilakukan pembayaran supaya pengadaan APD selanjutnya tidak ada kendala,” ungkapnya.
Ia menilai keterangan saksi cukup meluruskan situasi yang selama ini belum tergambarkan. “Jadi mudah-mudahan keterangan saksi hari ini bisa membantu semua terdakwa lah,” tandasnya. (Murgap)