Ahli Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (SDA) dari FH Unhas Makassar dan juga Guru Besar FH Unhas Makassar Prof Dr Ir Abrar Saleng SH MH (pertama dari kanan) foto bersama istri Ny Hj Suryani Saad Abrar di luar ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (04/12/2024). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan perkara kasus dugaan Tipikor pengelolaan timah dengan dugaan kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp300 triliun dengan terdakwa perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) Harvey Moeis, Suparta dan Reza, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (04/12/2024).
RBT adalah smelter timah yang beroperasi di Bangka Belitung (Babel). Perusahaan swasta itu menjalin kerja sama dengan PT Timah Tbk.
Agenda sidang kali ini, tim Kuasa Hukum terdakwa Harvey Moeis, Suparta, dan Reza, menghadirkan 3 orang Ahli yakni Ahli Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (SDA) dari Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (FH Unhas) Makassar dan juga Guru Besar FH Unhas Makassar Prof Dr Ir Abrar Saleng SH MH, Ahli Hukum Administrasi Negara FH Universitas Indonesia (UI) Dr Dian Puji Nugraha Simatupang SH MH dan Ahli Dr Teguh Setya Bakti SH MH untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Perlu diketahui, berdasarkan surat dakwaan JPU, dugaan kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei. Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan Ahli Lingkungan Hidup.
Ahli Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (SDA) dari FH Unhas Makassar dan juga Guru Besar FH Unhas Makassar Prof Dr Ir Abrar Saleng SH MH mengatakan, selama ini banyak salah paham, bahwa seakan-akan reklamasi itu merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pengusaha pertambangan yang masih aktif. “Padahal, di dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) nanti dikatakan tindak pidana ketika izin pertambangannya itu sudah berakhir atau dicabut, itu yang pertama. Kedua, mengenai dana jaminan reklamasi (jamrek) kawasan tambang, itu bukan untuk dipakai melakukan reklamasi oleh pihak ketiga. Dana jamrek Itu hanya menjaga-jaga,” ujar Prof Dr Ir Abrar Saleng SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Artinya, meskipun pembuat izin usaha pertambangan (IUP) itu menempatkan dana jaminan reklamasi, dana usaha tambang, tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan reklamasi. Artinya, tidak dengan penempatan jaminan reklamasi itu menggugurkan kewajibannya melakukan reklamasi. Itu yang perlu dipahami,” katanya.
Makanya, sambungnya, kesimpulannya adalah selama IUP tambang masih berlangsung atau masih berlaku dan orang melakukan pertambangan, tidak boleh divonis, bahwa ada kerugian lingkungan yang dikenai pada pertambangan itu. “Karena pasti menjadi tanggungjawab dan tidak pernah diserahkan ataupun dikembalikan kepada negara izin itu atau wilayah itu sebelum dilakukan pemulihan lingkungan dan nanti ada surat dari kementerian, bahwa lingkungannya ini diterima atau tidak. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (Kemen ESDM RI) mengatakan, bahwa dia sudah melakukan seluruh kewajiban-kewajibannya termasuk reklamasi dari hasil tambang,” paparnya.
“Kalau saya melihat di perkara kasus timah itu tidak ada penambangan illegal karena dia menambang di wilayah IUP PT Timah Tbk. Artinya, dia bekerjasama dengan PT Timah Tbk untuk melakukan penambangan dan hasilnya itu tidak dijual ke PT Timah Tbk tetapi PT Timah Tbk menerima hasil itu, lalu memberikan cost atau biaya produksi,” ungkapnya.
Artinya, imbuhnya, apa bedanya kalau PT Timah Tbk saat ini menambang dibanding masyarakat menambang. “Kalau PT Timah Tbk menambang kemahalan, pasti dia akan misalnya memindahkan masyarakat, membayar pembebasan tanahnya. Kalau ini tidak, masyarakat sendiri yang mengambil serahkan kepada PT Timah Tbk. Jadi dua-duanya tersenyum,” jelasnya.
“Jadi tidak ada istilah kemahalan. Justru saling menguntungkan. Tidak ada istilah kemahalan karena selalu berdasarkan kesepakatan atau perjanjian dengan pemegang atasan dengan PT Timah Tbk dan masyarakat yang mengelola pertambangan,” tuturnya.
Ia menilai kalau IUP timah masih aktif, belum ada kerugian lingkungan dan belum bisa divonis karena pasti nanti akan bertanggungjawab. “Di pertambangan itu ada Pasal 158 sampai Pasal 164 tentang Ketentuan Pidana dan tidak satu pun bentuk pidana itu menyebutkan namanya Tipikor. Jadi UU Pertambangan itu pun penyidiknya kalau ada illegal mining (tambang illegal) dalam Pasal 149 sampai Pasal 150 menyebutkan, selain polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) juga menjadi penyidik di dalam tindak pidana di dalam KemenESDM RI dan tidak ada wilayahnya kejaksaan sebagai penyidik,” tegasnya.
“Jauh sebelum PT Timah Tbk ada, masyarakat sudah menambang, masih zaman kesultanan Palembang, ketika pemerintahan kolonial Belanda sampai pemerintahan Orde Baru (Orba), masyarakat menambang dan tidak pernah merasa cara menambangnya itu di wilayah, misalnya di PT Timah Tbk. Itu dianggap hal yang legal atau wajar dan sebagainya. Lalu divonis itu illegal,” ucapnya.
Menurutnya, illegal itu tanpa izin. “Tapi masyarakat yang menambang di dalam wilayah IUP PT Timah Tbk itu atas persetujuan PT Timah Tbk karena masyarakat tidak bisa memiliki izin. Kenapa tidak bisa memiliki izin? Karena berada di dalam wilayah IUP PT Timah Tbk. Kalau dapat izin berarti double,” katanya.
Dikatakannya, tidak bisa dipisahkan wilayah tambang timah dengan masyarakat karena itu ketentuan Tuhan Yang Maha Esa (TYME). “Kalau tuhan sudah mengatur di wilayah IUP timah itu ada masyarakat dan ada hutan dan sebagainya, itu sunatulah pemberian Allah SWT,” tandasnya. (Murgap)