Sugih Hartono SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor di PT Timah Tbk dengan terdakwa Tamron alias Aon selaku Komoditer Pasif atau Pemegang Saham dari CV Venus Inti Perkasa (VIP), Achmad Albani sebagai General Manager (GM), Hasan Tjhie selaku Direktur dan Kwan Yung alias Buyung sebagai Kolektor, yang didakwa mengakomodir kegiatan penambangan illegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 hingga 2022, di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (18/11/2024).
Agenda sidang kali ini, Kuasa HuKum terdakwa Tamron alias Aon Cs menghadirkan 2 orang Ahli yakni Ahli Hukum Pertambangan Prof Dr Ir Abrar Saleng SH MH dari Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (FH Unhas) dan Ahli Hukum Pidana Dr Mahmud Mulyadi SH MM dari FH Universitas Sumatera Utara (USU) untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari keempat terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Komoditer Pasif atau Pemegang Saham dari CV VIP, Tamron alias Aon, Achmad Albani sebagai GM, Hasan Tjhie selaku Direktur dan Kwan Yung alias Buyung sebagai Kolektor, Sugih Hartono SH mengatakan, keterangan Ahli Hukum Pertambangan menjelaskan, bahwa sebetulnya Hukum Pertambangan itu sifatnya khusus (lex spesialis) dan juga ada aturan-aturan yang memang diatur di Hukum Pertambangan itu sendiri yang aturan-aturan yang khusus yang mengatur terutama mengenai sanksi.
“Jadi kenapa seperti itu? Supaya kalau ada pelanggaran terhadap Undang-Undang (UU) Pertambangan, ya diselesaikan lewat UU Pertambangan. Karena itu tadi lex spesialis,” ujar Sugih Hartono SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, jika ada misalnya, hal-hal yang diatur di dalam UU Pertambangan itu sifatnya, bentuknya administratif, ya harus diselesaikan secara administratif. “Kemudian, tadi di dalam UU Pertambangan itu juga kalau melakukan penyidikan Tindak Pidana yang berhubungan dengan pertambangan, itu diatur ada penyidik khusus yang punya spesifikasi khusus, yang punya kualifikasi khusus dan punya kewenangan khusus. Itu ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan polisi,” terangnya.
Jadi, sambungnya, pihak yang bisa melakukan penyidikan tadi itu adalah PPNS dan polisi untuk pelanggaran UU Pertambangan. “Dalam perkara ini kan banyak sekali disebut pasal-pasal UU Pertambangan yang disangkakan dan didakwakan kepada keempat terdakwa,” ungkapnya
“Jadi kalau menurut Ahli Hukum Pertambangan tadi, seharusnya UU Pertambangan lah yang dikenakan kepada keempat terdakwa seperti yang dijelaskan oleh Ahli Pertambangan tadi,” ucapnya.
Nah kalau untuk Tipikor, sambungnya, Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor mengatur, bahwa kalau tindakan yang akan dikenakan dengan pasal-pasal Tipikor itu harus disebut, bahwa memang tindakan tersebut adalah pelanggaran terhadap UU Tipikor. “Baru lah nanti bisa dikenakan pasal-pasal UU Pemberantasan Tipikor Nomor 31 tahun 1999 dan di Indonesia saat ini yang ada UU seperti itu hanya ada satu yakni UU mengenai Ketentuan Umum Perpajakan,” ucapnya.
“Di sana disebutkan, deliknya secara jelas, bahwa pelanggaran terhadap pasal ini merupakan Tipikor yang bisa diproses dengan menggunakan Pasal 12 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” jelasnya.
Ia mengharapkan keterangan kedua Ahli ini bisa memberikan pencerahan buat kita semua. “Ahli ini kan pertimbangannya tidak mengikat dan keterangannya tidak mengikat kepada majelis hakim,” tuturnya.
“Tapi kita harapkan keterangan-keterangan Ahli tadi bisa banyak membuka hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh majelis hakim. Apakah keempat terdakwa ini bisa dinyatakan bersalah atau tidak atas dakwaan yang didakwakan kepada ke empat terdakwa,” tandasnya. (Murgap)