Rio Andre Winter Siahaan SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor terkait dua petinggi smelter swasta yang sudah menjadi terdakwa dan didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) menerima uang Rp4,1 triliun dan diduga melakukan pencucian uang terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022, sehingga diduga merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun, di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (13/11/2024).
Dalam dakwaan JPU, kedua petinggi dimaksud yakni Pemilik Manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi yang diduga memperkaya diri Rp2,2 triliun serta Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto yang diduga menerima Rp1,9 triliun. Kedua terdakwa diduga telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam menyembunyikan asal usul harta kekayaannya.
Dengan demikian, perbuatan keduanya diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terdapat pula General Manager (GM) Operational PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2017-2020 Rosalina.
Meski terlibat dalam kasus tersebut, namun terdakwa Rosalina tidak menerima uang dan tidak melakukan TPPU. Untuk itu, Rosalina terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan JPU menjelaskan, Suwito, baik sendiri maupun bersama-sama dengan Direktur PT SIP MB Gunawan, melalui PT SIP dan perusahaan afiliasinya yaitu CV Bangka Jaya Abadi dan CV Rajawali Total Persada serta smelter swasta lainnya, telah melakukan pembelian dan atau pengumpulan bijih timah dari penambangan illegal di wilayah IUP PT Timah. “Smelter swasta itu di antaranya, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT SBS, CV Venus Inti Perkasa (VIP), dan PT TIN,” tutur JPU.
“Suwito, melalui PT SIP, pun menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah, yang diketahuinya bijih timah yang dibayarkan tersebut berasal dari penambang illegal dari wilayah IUP PT Timah. Begitu pula dengan Robert Indarto melalui PT SBS,” kata jaksa.
Secara total dari hasil pembayaran kerja sama sewa peralatan processing (pengolahan) untuk penglogaman timah dan kegiatan penjualan bijih timah illegal ke PT Timah Tbk yang diterima Suwito maupun Robert Indarto masing-masing berjumlah Rp2,2 triliun dan Rp1,9 triliun. Kemudian, JPU menuturkan, Suwito melakukan negosiasi dengan PT Timah Tbk terkait dengan sewa-menyewa smelter swasta dengan menyepakati harga sewa smelter yang akan dibayarkan PT Timah Tbk tanpa didahului studi kelayakan atau kajian yang memadai, sehingga terdapat kemahalan harga.
Negosiasi dilakukan bersama-sama dengan terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Pemilik Manfaat CV VIP dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon, Robert Indarto, Marketing PT TIN periode 2008-2018, Fandy Lingga, Rosalina, Direktur Utama (Dirut) PT RBT, serta Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. JPU melanjutkan, Suwito juga melakukan sewa kerja sama peralatan pengolahan untuk penglogaman timah dengan PT Timah, baik sendiri maupun bersama-sama dengan MB Gunawan, Tamron, GM Operational CV VIP dan PT MCM Achmad Albani, Dirut CV VIP Hasan Tjhie, serta pengepul bijih timah (kolektor), Kwan Yung alias Buyung.
Lalu bersama-sama pula dengan terdakwa Harvey Moeis, Suparta, Reza, Pemilik Manfaat PT TIN Hendry Lie, Fandy, Rosalina, serta Robert Indarto. Adapun kerja sama itu tidak tertuang dalam Rencana Kerja dan Rancangan Anggaran Belanja (RKAB) PT Timah Tbk maupun RKAB 5 (lima) smelter beserta perusahaan afiliasinya.
Dalam sidang kali ini, JPU menghadirkan 2 Ahli yakni Prof Dr Bambang Hero Saharjo dan Prof Dr Basuki Wasis untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa GM Operasional PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2017-2020 Rosalina, Rio Andre Winter Siahaan SH mengatakan, perlu dikritisi perhitungan kedua Ahli tadi.
“Kalau dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PerMA RI) tahun 2023 mensyaratkan ada yang namanya per Review. Jadi ada semacam review dari rekan sejawat. Tapi kan kata Ahli tidak perlu. Itu catatan pertama. Catatan kedua, Ahli bilang juga tidak perlu untuk memeriksa AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan dokumen reklamasi. Padahal, yang namanya perkara ini perlu lah kita membandingkan dengan dokumen AMDAL maupun rencana reklamasinya biar apakah benar tepat sasaran kah angka yang dimaksud, di sini Angka Pemulihan Kerugian Lingkungan itu?” ujar Rio Andre Winter Siahaan SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, acuan paling sahih itu dong. “Apalagi, dokumen reklamasi itu sudah disahkan oleh kementerian atau otoritas terkait baik itu kementerian maupun dinas,” katanya.
Menurutnya, kalau itu tidak diacu dan tidak diteliti, loh bagaimana? “Kami juga mempertanyakan tadi termasuk mengkritisi juga, bahwa angka-angka yang disebutkan itu berbeda ya. Di dalam dakwaan JPU dibilang ada dugaan kerugian negara Rp271 triliun. Ternyata angka Rp271 triliun ini bukan yang sepenuhnya berkaitan dengan perusahaan smelter, angka itu. Kemudian, dia klarifikasi lagi, ternyata angka di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pun berbeda dengan dokumen yang baru diserahkan tadi loh dokumennya. Nah, di dalam dokumen itu angkanya jauh lebih kecil di bawah,” paparnya.
“Hal berikutnya kok bisa perhitungannya berdasarkan klaster. Ini kan kasus pidana. Dalam kasus pidana itu harusnya pertanggungjawabannya harus tepat berapa yang dibebankan pada perusahaan mana dan dasarnya apa?” tanyanya.
Dikatakannya, kalau berdasarkan klaster, angkanya sama tadi. “Seperti ada beberapa perusahaan angkanya sama dan terus dari mana itu angka? Kalau kita melihat, ketika angkanya sama, terus kepastian hukumnya bagaimana dan pertanggungjawaban bagaimana? Itu sesuatu yang harus dikritisi, saya pikir,” ucapnya.
“Ada beberapa hal lain sih terutama mengenai angka, areal dan luasan. Hal yang perlu kita kritisi, kalau itu tidak terkait dengan perusahaan yang sedang dipermasalahkan dalam surat dakwaan jaksa, kenapa itu menjadi bagian dari surat dakwaan? Itu saja. Surat dakwaan itu kan seharusnya sesuai dengan hasil penelitian Ahli. Itu yang menjadi pertanyaan kita,” tuturnya.
Ia berharap dokumen-dokumen atau fakta-fakta seperti ini dikritisi secara proporsional saja. “Kami tidak bisa bilang lain-lain. Kita ingin melihat kasus ini secara proporsional. Kalau Ahli pukul rata begitu, ya perlu kita kritisi,” tegasnya.
“Kami cuma berharap kita lihat keterangan kedua Ahli ini secara proporsional dan kita kritisi bareng-bareng,” ungkap Rio Andre Winter Siahaan SH dari Kantor HAZ Atorniz At Law yang beralamat di Plaza Sentral, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
Dijelaskannya, pihaknya akan menghadirkan saksi atau Ahli dan saat ini sedang dipertimbangkan tapi nanti. “Kita lagi konsolidasikan internal. Kita coba telaah lagi ulang, keterangan-keterangan yang lain,” terangnya.
“Yang pasti, keterangan kedua Ahli ini diajukannya kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 tahun 2014. Kalau rujukannya itu sudah disebutkan kok dalam Permen LH Nomor 7 tahun 2014, bagaimana metode perhitungannya? Terus juga disebutkan, bahwa itu harusnya menjadi perkiraan awal. Nanti yang perkiraan awal itu yang kita kritisi. Itu sih kritik kita kepada keterangan Ahli,” katanya.
Dijelaskannya, Ahli sendiri mengakui, bahwa kalau ada kerusakan lingkungan dari mana ke mana rentang waktunya. “Makanya, kami kritisi. Kalau begitu kasus ini kasus pidana, kita sudah mendengar fakta-fakta di persidangan bagaimana cara penambangan di areal PT Timah Tbk? Cuma yang perlu kita kritisi adalah siapa yang melakukan apa dalam kasus ini dan pertanggungjawaban bagaimana? Kalau ini adalah satu rangkaian produksi mulai sejak produksi penambangannya sampai dengan logam timahnya dijual, kemudian menghasilkan uang, harus dikritisi dong,” tuturnya.
“Bagaimana pertanggungjawaban masing-masing? Maka kami tidak sepakat dengan tadi Ahli bilang, oh tiba-tiba ujug-ujug kesimpulannya adalah yang paling berat harus perusahaan smelter kata Ahli dan kami tidak setuju,” jelasnya.
Ahli sudah menyampaikan, sambungnya, bahwa Ahli kan mengerti, bahwa dalam perkara ini ada rangkaian proses produksi loh. “Dengan adanya rangkaian proses produksi itu, lalu bagaimana perhitungan Ahli dan siapa yang mendapatkan logam timahnya dan ke mana logam timahnya? Sekarang lebih ke intinya begini, Ahli tadi bilang mau menambang dengan sah dengan izin atau menambang tanpa izin, sama saja, menghasilkan kerusakan lingkungan. Kalau memang begitu perlu kita kritisi dong,” ucapnya.
“Perbedaannya di mana antara penambangan yang berizin dan penambangan yang tidak berizin? Berarti kan acuannya kalau ini ditambang di areal PT Timah Tbk, harus dicek, apakah sudah ada dokumen reklamasi atau studi AMDAL di situ?” katanya.
Ia mempertanyakan, kalau sudah ada studi AMDAL dan dokumen reklamasinya, bagaimana yang pelaksanaannya? “Sementara, izin PT Timah Tbk masih aktif dan kenapa tidak melihat ke situ?” tandasnya. (Murgap)