Kuasa Hukum terdakwa pimpinan cabang salah satu bank pelat merah sekaligus Dirut PT RBS Untung Arifin dan Panji Agus Muttaqin selaku Dirut PT EEM sekaligus menantu dari Untung Arifin, Hadi Apri SH (pertama dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Reza SH di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Jum’at (15/03/2024). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan dana pembayaran tagihan listrik ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan 2 (dua) orang terdakwa yakni pimpinan cabang salah satu bank pelat merah sekaligus Direktur Utama (Dirut) PT Ratu Baraka Sejahtera (PT RBS) Untung Arifin dan Panji Agus Muttaqin selaku Dirut PT Evolitera Envo Media (PT EEM) sekaligus menantu dari Untung Arifin, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Jum’at (15/03/2024).
Kasus ini terjadi dalam kurun waktu 2013 sampai 2020 terkait pengelolaan dana pembayaran tagihan listrik ke PLN melalui sistem PPOB atau Payment Point Online Bank. Dua tersangka di atas diduga membuka akses finansial pada rekening deposit PT RBS dan link dengan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), sehingga PT RBS bisa menarik dana dari rekening deposit.
Para tersangka tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar 22.179.000.374. Akibat perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 2 ayat (1) Juncto (Jo). Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Agenda sidang pada hari ini adalah pemeriksaan kedua terdakwa untuk memberikan keterangan di hadapan hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Kuasa Hukum dari kedua terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa pimpinan cabang salah satu bank pelat merah sekaligus Dirut PT RBS Untung Arifin dan Panji Agus Muttaqin selaku Dirut PT EEM sekaligus menantu dari Untung Arifin, Hadi Apri SH mengatakan, tadi dalam faktanya dalam.pemeriksaan kedua terdakwa tadi di muka persidangan, dari mulai arti surat dan pembuktian ataupun mulai dari proses penyelidikan itu dalam perkara ini tidak pernah dipanggil Ahli khususnya berkaitan dengan transaksi keuangan baik dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI) yang melakukan audit terhadap PT EEM yang Dirutnya adalah Panji Agus Muttaqin dan PT RBS yang Dirutnya adalah Untung Arifin. “Jadi di sini ada keganjalan. Awalnya, kerjasama. Jadi kasus ini bermula awalnya ada kerjasama pembayaran listrik secara online antara PLN dan Bank Mandiri dan kemudian di situ ada mitra, mitranya adalah PT EEM dan PT RBS sejak tahun 2013 hingga 2020,” ujar Hadi Apri SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, selama berjalannya waktu, kerjasama tersebut tidak ada masalah. “Tidak ada kekurangan dan lainnya, jadi tidak ada masalah kerjasama tersebut. Kemudian, terjadi gagal debit. Gagal debit dari Bank Mandiri di 23 November 2013 sampai 23 November 2020 terjadi gagal debit dari Bank Mandiri,” katanya.
“Kenapa? Karena di situ ada selisih. Mereka mengira ada selisih Rp22 miliar. Nah, terkait dengan hal tersebut, PT EEM maupun PT RBS tidak mengetahui karena sistem tiba-tiba berkurang. Karena memang mereka tidak ada akses ke situ. Terkait dengan pendebitan itu karena kurang, maka ada yang namanya dana talangan bayar, Bank Mandiri bayar ke PLN karena pendebitannya kurang lebih dari Rp22 miliar. Itu pun juga tidak ada diperjanjikan pembayaran itu, inisiatif dari Bank Mandiri sendiri. Dari soal tersebut, dari pihak Bank Mandiri ke rumahnya Pak Untung Arifin minta satu jaminan. Jadi larinya perkara ini sebenarnya perkara perdata,” tegasnya.
Dijelaskannya, awalnya perjanjian, kemudian ada gagal debit yang mulanya dari tahun 2013 hingga 2020. “Itu sudah lama terjadi. Mestinya, ada audit dari Bank Mandiri kan khususnya. Kok tiba-tiba ada kekurangan di November 2020. Nah, didebit oleh Bank Mandiri karena ada kekurangan, akhirnya Bank Mandiri minta jaminan untuk penyelesaian,” papar Hadi Apri SH dari kantor TRA Law yang beralamat di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) ini.
Menurutnya, sebenarnya perkara ini terkait dengan keperdataan. “Pak Untung Arifin kasih jaminan pribadi. Karena pihak yang berkuota kan PT. Pak Untung Arifin kasih jaminan pribadi ke Bank Mandiri. Ini loh. Itu pun diberikan sebelum 23 November 2020,” ungkapnya.
“Jadi sebelum itu, ada gagal debit tapi ada jaminan. Pada intinya, nanti kalau ada gagal debit silahkan dieksekusi jaminannya. Selesai, karena begitu banyak asetnya,” katanya.
Tadi juga ditunjukan oleh jaksa, sambungnya, bagaimana ceritanya lni dijaminkan ke Bank Mandiri, ada berita acaranya, tiba-tiba itu ke jaksa, jaminan yang disita itu berkaitan dengan perkara Pidana Umum (Pidum) maupun khusus korupsi berupa tindak pidana. “Ini kan jaminan pribadi Pak Untung Arifin. Sejak kapan? Ini juga gagal bayarnya pada November tahun 2020, kok bisa disita?” tanyanya.
“Nah, perkara ini keperdataan murni. Jadi karena ada kurang bayar itu mestinya dilelang atau diselesaikan itu gagal debit melalui aset yang sudah dijaminkan oleh Pak Untung. Karena itu asetnya pribadi bukan PT. Terlebih dalam sidang ini tidak pernah dipanggil Ahli, khususnya Ahli PPATK maupun dari BPKP RI yang langsung mengaudit dari pihak-pihak terkait termaksud PT EEM dan PT RBS yang dinaungi oleh Pak Untung dan juga Pak Panji,” tuturnya.
Menurutnya, perkara ini hanya asumsi saja. “Jadi terkait dengan kerugian riil kebenaran materilnya, kalau menurut saya, jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya,” urainya.
Agenda sidang selanjutnya, akan digelar pembacaan tuntutan oleh jaksa kepada kedua terdakwa pada Jum’at (22/03/2024). “Persiapan kami untuk pembacaan Nota Pembelaan atau Pledoi, pastinya perkara ini ranahnya keperdataan. Mestinya, perkara ini terkait hutang piutang saja. Pak Untung yang bayar nih, kalau tidak bisa dibayar hutangnya, asetnya dilelang. Tidak ada kerugian negara dalam perkara ini. Dari mana ada kerugian negara dalam perkara ini?” tanyanya lagi.
Ia menegaskan, dana-dana tampungan itu awalnya merupakan dana swasta atau dana nasabah. “Bagaimana terhubung itu menjadi kerugian negara? Di mana hubungannya? Untuk mengetahu itu sebagai kebenaran materil, ya silahkan ajukan Ahli. Mulai dari proses penyelidikan sampai ke pengadilan hingga ke tuntutan, jaksa maupun hakim tidak pernah meminta Ahli untuk menilai kebenaran materil,” tandasnya. (Murgap)