James Then
Jakarta, Madina Line.Com – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan CNBC menggelar acara Indonesia Marine & Fisheries Forum di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (05/02/2024).
Acara ini dibuka langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono. Tampak hadir pada acara ini Sekretaris Jenderal Solidaritas Nelayan Indonesia (Sekjen SNI) James Then.
Ia mengatakan, kalau untuk perizinan kapal perikanan saat ini sudah baik dan lancar yang dilakukan oleh KKP terkait Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN). “Tapi ada 2 (dua) masalah yang kita tolak. Satu, masalah zonasi. Zonasi artinya pangkalan perikanan kita pindah sesuai dengan tempat kita menangkap ikan. Kan zonasi itu tempatnya nelayan-nelayan kecil seperti di Jakarta, Juanda, Bali, itu kan untuk kapal-kapal ikan besar. Kalau kita pindahkan ke zonasi penangkapan, itu kan kapal kecil. Jadi itu akan terjadi konflik horizontal. Kalau itu terjadi terkait zonasi, siapa yang mau bertanggung jawab?” ujar James Then kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di sela-sela acara ini.
Kedua, sambungnya, masalah kuota. “Kuota waktu berdiri itu pertama kali di zaman MKP dijabat oleh Edhy Prabowo, itu Rp200 miliar cash fresh money (dana segar), baru bisa dapat kuota tapi sekarang sudah tidak ada. Tapi sistem kuota itu cenderung menimbulkan oligopoli dan monopoli,” tegasnya.
Menurutnya, pihak yang bisa mendapatkan kuota itu hanya orang yang punya duit, sementara nelayan tidak punya duit. “Jadi terjadilah jual beli kuota,” sesalnya.
“Dengan adanya sistem kuota tersebut pihak asing pun bisa bermain. Menangkap ikan di luar negeri tinggal dikirim saja ke dalam negeri. Dia membeli ikan sedikit tapi yang dikirim banyak. Kuota itu mengakibatkan mafia kuota. Menimbulkan oligopoli dan monopoli serta nelayan-nelayan hanya jadi pekerja tapi bukan mencari untung,” paparnya.
Dikatakamnya, KKP sebagai pihak regulator tidak masalah. “Tolok ukurnya waktu menangkap ikan terukur. Tapi bukan kapal ikan yang sudah punya fasilitas cold storeage (tempat pendinginan ikan) dan ada tempat pengolahan ikan lalu dipindahkan. Kalau dibilang mau pemerataan, pemerataan di satu tempat dilakukan. Contoh fasilitas di pelabuhan, dibaguskan. Dengan sendirinya, investor akan datang sendiri. Tidak perlu ada pemerataan ataupun kita dipindahkan zonasinya dengan fasilitas yang tidak ada,” ungkapnya.
“Jadi kalau kita sudah diberi fasilitas dengan bagus, investor pasti datang. Itu yang terjadi kalau pasar dibentuk seperti ini. Bukan malah dipindahkan dengan fasilitas yang belum ada,” tuturnya.
Dijelaskannya, kalau soal kuota, nelayan pasti menolak. “Sampai kapan pun nelayan seluruh Indonesia bakal menolak. Mau demo kek, mau apa kek kalau sistem kuota terjadi pasti kita akan bergerak,” pesannya.
“Pemerintahan siapa pun kalau masih menerapkan sistem kuota, kita pasti menolak. Satu lagi, masalah ikan impor. Sekarang itu ikan impor sudah masuk ke pelabuhan Muara Baru dan pelabuhan Juanda dan pelabuhan di seluruh Indonesia. Kapal ikan beku yang dulu harganya Rp20.000, bisa tinggal Rp5.000. Ikan fresh (segar) yang dulu harganya Rp15.000, sekarang harganya Rp2.500,” tuturnya.
Disebutkannya, ikan impor ada dua jenis yakni ikan impor untuk konsumsi lokal yaitu pihak yang mengeluarkan izin rekomendasi adalah Business Development Services (BDS) KKP dan kalau untuk ikan impor sudah diimpor direekspor lagi sudah diproses itu tugas dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). “Tolong mereka itu harus benar-benar bijak untuk memberikan rekomendasi. Jangan rekomendasi ini terjadi, akhirnya saat ini ikan kita tidak bisa ke luar negeri,” imbaunya.
“Satu lagi, ada lagi sistem kuota selain ikan yakni bawang putih juga menggunakan sistem kuota dan daging sapi juga sistem kuota. Jadi akhir tahun kan mereka semua harus masuk. Kalau tidak kuota mereka akan dipotong. Jadi akhir tahun karena semua harus masuk, kuota itu harusnya dipakai untuk ikan tapi kuotanya dipakai untuk bawang putih dan daging sapi,” ucapnya.
Akhirnya, imbuhnya, selain impor ikan terjadi saat ini tidak punya cold storage. “Karena selain komoditi ikan, komoditi lain juga ikut. Jadi KKP harus jeli. Jadi kalau cold storage dipakai untuk perikanan, kan tidak boleh untuk komoditi bawang putih dan komoditi lain seperti daging,” katanya.
Ia menyesalkan sampai saat ini KKP tidak pernah melakukan razia. “KKP sebagai pihak regulator jangan mengajarkan kita untuk berbisnis. Tapi menjadi fasilitator bagaimana supaya usaha perikanan ini bisa berjalan dengan baik, itu saja,” kata James Then yang juga sebagai Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN).
Ia menilai saat ini di sektor perikanan sudah terjadi diskriminasi ekonomi. “Karena tarif ekspor ikan nasional ke Amerika Serikat (AS) untuk ikan kalengan tarif ke USD 12,5%. Kalau untuk pasar Uni Eropa (UE) semua mau jenis ikan kalengan dan lainnya tarifnya 20,5%. Sedangkan, untuk ke pasar Vietnam dan Filipina tarifnya 0%. Bagaimana tarif ke USD 12,5%? Jadi pemerintah bukan membuat kebijakan bagaimana kita berbisnis tapi kompetisi eksternal sekaligus otomatis biar kita sama (equal). Tidak ada diskriminasi ekonomi lagi,” harapnya.
“Soal ikan lokal, KKP harus membantu nelayan ikan lokal supaya bisa memiliki cold storeage. Kita ada sewa tanah dengan Perusahaan Umum Pelabuhan Indonesia (Perum Pelindo). Kalau Perum Pelindo semena-mema menaikan harga, akhirnya kita menaikan harga di kapal ikan. Jadi kalau semua bisa dengan biaya rendah tinggal ditarik dari pajak saja kan. Jadi tidak perlu takut. Jadi kalau belum apa-apa sudah biaya besar, kita bisa mati usahanya. Satu lagi, KKP sebagai fasilitator bukan mencari keuntungan dari pelaku usaha. Itu harapan kita,” tandasnya. (Murgap)