Zahru Arqom SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan dengan Nomor Perkara 32 pada pokoknya perkara antara adanya perjanjian fiktif dengan terdakwa mantan General Manager (GM) Pengendali Produksi PT Waskita Beton Precast Christiadi Juli Harjanto dan terdakwa Hasnaeni sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Misi Mulia Metrical dengan Nomor Perkara 31 di ruang Prof Dr Kusuma Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Rabu siang (09/08/2023).
Pada sidang kali ini, agendanya pembacaan Nota Pembelaan atau Nota Pledoi dari terdakwa mantan General Manager (GM) Pengendali Produksi PT Waskita Beton Precast Christiadi Juli Harjanto dan tim Kuasa Hukum terdakwa di hadapan majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kuasa Hukum terdakwa mantan GM Pengendali Produksi PT Waskita Beton Precast Christiadi Juli Harjanto, Zahru Arqom SH MH mengatakan, kliennya menjabat sebagai GM Pengendali Produksi PT Waskita Beton Precast tetapi di tengah-tengah itu dan setelah selesai itu di Februari 2020 ada Direksi Produksi PT Waskita Beton Precast yang membuat adendum juga dan kemudian kliennya sudah diuji secara forensik, paraf dan tandatangannya dipalsukan juga terbit pembayaran dari tagihan total Rp 27 miliar dan baru terbit Rp17 miliar kepada PT Misi Mulia Metrical dengan Dirutnya terdakwa Hasnaeni yang dikenal dengan panggilan Wanita Emas itu.
“Nah, kaitannya di sini, klien kami dianggap turut serta melakukan Tipikor yang dilakukan oleh para direksinya di PT Waskita Beton Precast,” ujar Zahru Arqom SH MH dari Kantor Law Firm Zahru Arqom & Co kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, karena perkara ini berkaitan ketidaktahuan dan tidak menginsyafi, kemudian Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) delik penyertaan, yang namanya pemahaman pengetahuan terhadap delik itu seharusnya sama. “Artinya, memang tujuannya itu. Nah, klien saya ini sebagai bawahan, selain tidak tahu dan dipalsukan paraf dan tandatangannya, apalagi harusnya ada orang yang lebih bertanggung jawab di lingkungan direksi, tetapi klien saya dijadikan terdakwa juga. Oleh karena itu, klien saya karena memang tidak melakukan kesalahan sampai dengan sidang pembacaan Nota Pembelaan atau Nota Pledoi pada hari ini, kami menyatakan klien kami tidak bersalah sebagaimana tuntutan dari JPU,” paparnya.
Dijelaskannya, terdakwa Hasneni diduga penerima dana Rp17 miliar. “Isi Nota Pledoi kami memuat fakta-fakta yang pertama, bahwa klien kami merasa tidak terlibat dalam perkara ini. Kedua, rapat-rapat yang kemudian dikatakan ada klien kami, itu tidak ada,” tegasnya.
“Katakanlah permufakatan jahatnya atau mensreanya tidak ada. Artinya, ketika delik penyertaan Pasal 55 KUHP membantu melakukan atau turut serta itu klien kami harus mempunyai peran tersendiri. Artinya, bersama-sama itu harus dijelaskan si A punya peran apa, si B punya peran apa dan sebagainya. Sampai dengan pengadaan fiktif ini kemudian membuat adendum fiktif yang disisipkan pada tahun 2020, kemudian pembayaran-pembayaran dengan coba dokumen urutannya In Voice dan sebagainya, itu kan paraf dan tandatangannya dipalsukan,” terangnya.
Dijelaskannya, ia sudah meminta kepada penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) tapi tidak dikabulkan untuk uji forensik terhadap paraf dan tandatangan kliennya yang diduga dipalsukan. “Karena Kejagung RI tidak mau. Maka saya mencari Ahli lain yakni Ahli Grafologi terkait paraf dan tandatangan sebagai pembanding dan sebagainya itu dinyatakan tidak identik. Tapi klien kami tetap saja diproses secara hukum dan hingga hari ini saat pembacaan Nota Pledoi ini,” katanya.
“Klien saya tahu saja tidak terhadap perkara ini. Kalau dari hasil persidangan, berkaitan dengan adendum fiktif karena ada perjanjian berjalan dan itu berjalan baik dan itu ditandatangani oleh klien saya karena di bawah Rp1 miliar dan kalau di atas Rp10 miliar itu kewenangan direksi. Nah, adendum ini ternyata meningkatkan volume dari 5.000 menjadi 50.000 meter kubik untuk pasir dan batu split dan itu ditandatangani oleh Direktur Produksi PT Waskita Beton Precast Yudi Darmawan dan itu diakui oleh Yudi Darmawan dan tanggal 30 September 2019 dibuatnya dan Februari 2020, dari keterangan pemeriksaan saksi di muka persidangan, hasilnya seperti itu,” ungkapnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis (10/08/2023) dengan mendengarkan tanggapan JPU atau Replik terhadap isi Nota Pledoi Kuasa Hukum terdakwa mantan GM Pengendalian Produksi PT Waskita Beton Precast Christiadi Juli Harjanto. “Kalau untuk Duplik (sanggahan) atas pembacaan Replik dari JPU, Duplik kami akan dijawab secara lisan saja dan kemudian tinggal pembacaan putusan majelis hakim,” ucapnya.
“Karena pembacaan putusan hakim ini kemungkinan besar dibacakan 7 hari sebelum tanggal 27 Agustus 2023 karena tanggal 27 Agustus 2023 sudah selesai masa penahanan untuk klien kami. Artinya, masih ada 7 hari untuk kami melakukan pikir-pikir atas putusan majelis hakim nantinya. Harusnya pembacaan putusan majelis hakim kurang dari tanggal itu,” pintanya.
Dikatakannya, tuntutan JPU untuk kliennya dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun. “Karena urutan dari putusan majelis hakim kepada direksi PT Waskita Beton Precast yang sudah ada, Pasal 2 Undang-Undang (UU) Tipikor di-Junctokan (Jo) ke Pasal 55 KUHP dengan tuntutan hukuman penjara selama 5 tahun, ditambah dengan membayar uang denda sebesar Rp500 juta dan subsider 4 bulan penjara,” tandasnya. (Murgap)