Johannes Tobing SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan perkara kasus dugaan korupsi terkait Perizinan Ekspor (PE) minyak sawit alias Crude Palm Oil (CPO) di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (28/12/2022).
Kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor minyak sawit alias CPO ini mendakwa 5 (lima) terdakwa yang merugikan negara Rp18,3 triliun. Lima terdakwa adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Dirjen Daglu Kemendag RI) Indrasari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager (SM) Corporate Affair PT Permata Hijau Group Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan atau Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Korupsi ini merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut dalam dakwaannya nilai merugikan keuangan negara Rp6,05 triliun dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12,31 triliun. Pada sidang kali ini, agendanya adalah Kuasa Hukum terdakwa Senior Manager (SM) Corporate Affair PT Permata Hijau Group Stanley MA, Johannes Tobing SH membacakan Nota Pembelaan (Pledoi) untuk kliennya.
“Isi Nota Pledoi yang kami bacakan pada hari ini, bahwa kami menjawab dan membantah segala macam mulai dari dakwaan dan tuntutan JPU, bahwa kami memang meyakini perkara kliennya bukanlah perkara Tipikor,” ujar Johannes Tobing SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, bahwa semua dari fakta persidangan, mulai dari keterangan ahli dan saksi, tidak ada satu orang pun yang bisa membuktikan, bahwa memang kliennya adalah pelaku Tipikor. “Kalaupun memang diduga ada pelanggaran yang secara melanggar hukum perdagangan, tentu perkara kliennya ini soal administrasi,” ujar Johannes Tobing SH dari kantor law firm Prof Dr Otto Hasibuan SH MH and Partner yang berlokasi di Jakarta ini.
“Jadi sepantasnya kliennya tidak diadili di Pengadilan Tipikor karena kliennya masuk ke perkara Pidana Umum (Pidum). Jadi perkara kliennya bukan soal Tipikor,” tegasnya.
Dijelaskannya, pihaknya juga membantah tuntutan JPU terhadap kliennya yang menyebutkan kliennya harus membayar uang pengganti sekitar Rp868 miliar. “Pasalnya, fakta di persidangan, Stanley MA ini sebagai manager dan klien saya tidak melakukan perbuatan Tipikor. Karena topik yang selalu dibahas dalam persidangan itu selalu PE. Tidak ada gratifikasi dan kerugian negara serta kerugian perekonomian negara dan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Semua itu tidak ada buktinya,” katanya.
Menurutnya, hal yang paling lucu itu dalam tuntutan JPU, perbuatan kliennya ini dipaksakan agar korporasi bertanggung jawab untuk mengganti rugi perkara ini. “Itu di mana diatur? Itu tidak ada,” pungkasnya.
Ia mengharapkan kepada majelis hakim agar membebaskan kliennya dari segala dakwaan dan tuntutan JPU dan tidak membayar uang pengganti sekitar Rp868 miliar. “Hakim dalam putusannya nanti yang akan dibacakan pada Rabu (04/01/2023) harus memang seadil-adilnya dan kliennya harus dibebaskan. Karena kliennya tidak terbukti melakukan Tipikor,” terangnya.
“Kalau terkena sanksi administrasi terhadap kliennya sanksinya mencabut PE perusahaan klien saya ini. Tidak ada perkara kliennya ini masuk ke perkara Tipikor,” tandasnya.
Perlu diketahui, JPU dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) menuntut terdakwa SM Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA dihukum 10 (sepuluh) tahun penjara buntut kasus dugaan korupsi ekspor CPO atau minyak sawit mentah. Stanley MA diduga ikut terseret dalam kasus korupsi yang menjerat mantan Dirjen Daglu Kemendag RI Indrasari Wisnu Wardhana.
Adapun tuntutan JPU untuk terdakwa Stanley MA dibacakan di ruang sidang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Stanley MA dengan pidana penjara selama 10 tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan,” kata JPU di ruang sidang, Kamis (22/12/2022).
Selain itu, JPU juga meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. JPU meminta pengadilan menyatakan bos perusahaan minyak goreng itu terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Indrasari Wisnu Wardhana dan terdakwa lainnya.
Hal ini sebagaimana dakwaan primair Pasal 2 Ayat (1) juncto (jo) Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam kasus tersebut, perusahaan yang berada di bawah naungan grup Permata Hijau mendapatkan PE.
Hal ini mengakibatkan terjadi kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. “Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa Stanley MA sebesar Rp 1.000.000.000 subsider 6 bulan kurungan,” papar JPU.
Selain menuntut terdakwa divonis 10 tahun penjara, JPU juga meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus menjatuhkan hukuman tambahan. JPU meminta Majelis Hakim menghukum Stanley MA membayar uang pengganti sebesar Rp869.720.484.367,26 atau Rp869,7 miliar.
Uang tersebut harus dibayarkan dalam waktu maksimal 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inchraat). Jika Stanley MA tidak bisa membayar uang itu, sebagaimana ditentukan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU tentang Pemberantasan Tipikor, harta bendanya maupun korporasi akan disita oleh JPU. “Dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” ujar JPU.
Adapun sejumlah korporasi itu adalah PT Permata Hijau Palm Oleo senilai Rp302.872.524.727,52 dan PT Permata Hijau Sawit senilai Rp8.582.484.264,39. Kemudian, PT Pelita Agung Agrindustri senilai Rp 191.535.167.200,59, PT Nagamas Palmoil Lestari senilai Rp351.963.069.104,5, dan PT Nubika Jaya senilai Rp13.767.239.070,26.
Jika Stanley MA tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti itu, ia akan dipidana 5 (lima) tahun penjara. JPU menyebutkan, bahwa tindakan Stanley MA dilakukan bersama mantan Dirjen Daglu Kemendag RI Indrasari Wisnu Wardhana dan Tim Asistensi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Kemudian, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor dan GM bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang. Dalam kasus ini, eks Dirjen Daglu Kemendag RI Indrasari Wisnu Wardhana itu dinilai telah melakukan dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah.
Tindakan Indrasari Wisnu Wardhana memberikan PE diduga telah memperkaya orang lain maupun korporasi. Menurut JPU, perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan 4 (empat) terdakwa lainnya.
Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp18,3 triliun. Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian negara sebesar Rp6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp12.312.053.298.925.
“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925,” kata JPU.
JPU menyebutkan, dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 6 triliun, negara menanggung beban kerugian Rp2.952.526.912.294,45 atau Rp2,9 triliun. Menurut JPU, kerugian keuangan negara itu merupakan dampak langsung dari penyalahgunaan fasilitas PE produk CPO dan turunannya atas perusahaan yang berada di bawah naungan Grup Wilmar, Grup Permata Hijau dan Grup Musim Mas.
Dirjen Daglu Kemendag RI Indrasari Wisnu Wardhana dan 4 (empat) tersangka lain didakwa memanipulasi pemenuhan persyaratan Domestic Market Obligation (DMO) atau Izin Pemenuhan Pasar Domestik dan Domestic Price Obligation (DPO) atau Izin Harga Domestik untuk produk minyak goreng dan CPO serta produk turunannya. Adapun DMO merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit memenuhi stok dalam negeri.
Sementara itu, DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri. Akibat DMO tidak disalurkan, negara akhirnya mesti mengeluarkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu beban masyarakat.
“Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam penyaluran BLT tambahan khusus minyak goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan,” tutur JPU.
Adapun sejumlah korporasi yang menerima kekayaan dalam akibat persetujuan ekspor CPO itu adalah Grup Wilmar sebanyak Rp1.693.219.882.064, Grup Musim Mas Rp626.630.516.604, dan Grup Permata Hijau Rp124.418.318.216. JPU menyebutkan, Lin Che Wei, Stanley MA, Pierre, dan Master melanggar pasal yang sama.
Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. (Murgap)