Wartawan senior dan Komisaris Majalah Tempo Grup Bambang Harimurti (pertama dari kiri) foto bersama Kuasa Hukum terdakwa GM Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Denny Kailimang SH MH di teras Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu siang (21/22/2022). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan perkara kasus dugaan korupsi terkait Perizinan Ekspor (PE) minyak sawit alias Crude Palm Oil (CPO) di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (21/12/2022).
Kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor minyak sawit alias CPO ini mendakwa 5 (lima) terdakwa yang merugikan negara Rp18,3 triliun. Lima terdakwa adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Dirjen Daglu Kemendag RI) Indrasari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager (SM) Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan atau Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Korupsi ini merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut dalam dakwaannya nilai merugikan keuangan negara Rp6,05 triliun dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12,31 triliun. Pada sidang kali ini, agendanya adalah pembacaan tuntutan oleh JPU untuk kelima terdakwa.
Namun demikian, sidang ini ditunda dan dilanjutkan lagi pada hari Kamis (22/12/2022) karena JPU belum siap dengan nota tuntutannya. Wartawan senior Bambang Harimurti yang sempat hadir dalam persidangan ini sebagai penonton sidang mengatakan, JPU mungkin kebingungan kalau melihat dari segi persidangan, JPU dalam tuntutannya seharusnya menuntut bebas terhadap kelima terdakwa.
“Pasalnya, tidak ada dakwaan JPU yang bisa dibuktikan di persidangan,” ujar tokoh pers Indonesia dan juga sebagai Komisaris Majalah Tempo Grup Bambang Harimurti kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, paling penting itu kalau di pengadilan adalah beban JPU untuk bisa membuktikan dari keterangan para saksi. “Malah dari keterangan para saksi di persidangan mementahkan dakwaan JPU,” terangnya.
Menurutnya, kalau JPU profesional dan memang menjalankan azaz hukum yakni menegakan azaz praduga tak bersalah, maka menuntut bebas saja kepada kelima terdakwa karena hal itu biasa, menuntut bebas di persidangan. “Karena beban pembuktian ada di JPU dan JPU sudah diberikan waktu dan saksi-saksi di persidangan juga sudah memberikan keterangan di hadapan JPU, hakim dan tim Kuasa Hukum dari masing-masing terdakwa serta bukti-bukti sudah diungkap secara transparan. JPU juga sudah bekerja keras dan kalau tidak ada bukti yang bisa membuktikan, ya sudah tuntutannya harusnya bebas,” ungkapnya.
Ia mengharapkan, bahwa JPU bertindak profesional dan tidak ada alasan gengsi karena sudah membawa kelima terdakwa di muka persidangan karena kalau dipaksakan penyebab sebenarnya kelangkaan minyak goreng tidak ketahuan. “Padahal, kita belajar dari kasus ini apa yang terjadi supaya tidak berulang. Kalau nanti disalahkan orang yang tidak salah, maka nanti bisa terulang lagi kejadian ini. Karena bukan penyebab sebenarnya yang dituntut oleh JPU,” paparnya.
“Saya sih berharap JPU sangat profesional dalam melihat perkara ini. Saya pikir JPU sangat mungkin sih profesional dan ya sudah karena memang bukan kelima terdakwa penyebab kelangkaan minyak goreng dan mahalnya harga minyak goreng curah, ya sudah jangan dituntut bersalah, supaya JPU bisa mencari siapa pelaku sebenarnya,” katanya.
JPU, sambungnya, bisa mencari penyebab kelangkaan minyak goreng curah di pasaran, dengan mencari ritelnya dan memang mungkin untuk kejadian seperti ini sebetulnya lebih masalah lagi dari antisipasi pemerintah Republik Indonesia (RI). “Saya kira dari kasus ini kita belajar, sebenarnya untuk pasar minyak goreng tak bisa kita kendalikan. Mungkin kebijakannya itu memberikan voucher atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masyarakat Indonesia yang tidak mampu,” pesannya.
“Dengan adanya voucher tersebut bisa ditukarkan dengan barang minyak goreng curah. Jadi semua pihak senang. Kalau dari perkara ini kan semua pihak merasa merugi,” tegasnya.
Dijelaskannya, dari perkara ini pemerintah RI merasa merugi karena tidak dapat pungutan ekspor, devisa atau pendapatan negara hilang, lalu petani kelapa sawit atau CPO mengeluh karena tidak ada yang membeli hasil pertaniannya, pengekspornya pun juga tutut merasa merugi. “Jadi tidak ada pihak yang diuntungkan dengan adanya perkara ini,” tukasnya.
“JPU-nya juga rugi karena membuang waktu banyak, hakimnya juga membuang waktu banyak. Mungkin pelajaran yang bisa diambil dari perkara ini, sudahlah dan prinsip hukum harus ditegakan yakni praduga tak bersalah harus kita jaga ya,” imbaunya.
Menurutnya, dengan adanya perkara kasus ini banyak pihak menjadi korban yakni masyarakat Indonesia, pengusaha sawit dan CPO jadi korban, petani sawit dan CPO jadi korban, serta pejabat negara yang sudah kerja keras juga jadi korban. “Pengusaha yang membantu pemerintah RI dalam mengatasi darurat kelangkaan minyak goreng di pasaran juga ikut jadi korban. Malahan yang sebenarnya bersalah, bisa lolos,” tuturnya.
“Pihak yang tidak ikut membantu pemerintah RI dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng malah oke-oke saja. Maka dari itu, perkara ini harus segera dibenahi lah,” ucap Bambang Harimurti yang saat ini masih berkecimpung di dunia tulis menulis dan sibuk mengisi acara di berbagai diskusi di samping sibuk di Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini. (Murgap)