Denny Kailimang SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan perkara kasus dugaan korupsi terkait Perizinan Ekspor (PE) minyak sawit alias Crude Palm Oil (CPO) di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (22/12/2022).
Kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor minyak sawit alias CPO ini mendakwa 5 (lima) terdakwa yang merugikan negara Rp18,3 triliun. Lima terdakwa adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Dirjen Daglu Kemendag RI) Indrasari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager (SM) Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan atau Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Korupsi ini merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut dalam dakwaannya nilai merugikan keuangan negara Rp6,05 triliun dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12,31 triliun. Pada sidang kali ini, agendanya adalah pembacaan tuntutan oleh JPU untuk kelima terdakwa di hadapan majelis hakim serta tim Kuasa Hukum dari masing-masing terdakwa.
Untuk General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang dituntut 11 (sebelas) tahun penjara ditambah uang pengganti senilai Rp4,544 triliun dalam kasus dugaan korupsi PE CPO atau minyak goreng dan turunannya di Kemendag RI. “Menyatakan terdakwa Pierre Togar Sitanggang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tipikor yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan primer. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Pierre Togar Sitanggang dengan pidana penjara selama 11 tahun ditambah pidana denda sebanyak Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan,” kata JPU Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) Zulkipli di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (22/12/2022).
Pierre didakwa berdasarkan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) juncto (jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). JPU Kejagung RI juga menuntut Pierre membayar uang pengganti senilai Rp4,544 triliun.
“Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Pierre Togar Sitanggang untuk membayar uang pengganti sebesar Rp4.544.711.650.438,” ungkap JPU.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inchraat), maka harta benda milik terdakwa yaitu PT Musim Mas senilai Rp1.349.358.310.594, PT Musim Mas Fuji senilai Rp13.493.031.352, PT Intibenua Perkasatama senilai Rp2.945.771.920.965, PT Mikie Oleo Nabati Industri senilai Rp5.201.108.727, PT Agro Makmur Raya senilai Rp27.551.157.031, PT Megasurya Mas senilai Rp29.178.432.507, PT Wira Inno Mas senilai Rp173.061.675.094 dapat disita oleh JPU dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan 6 bulan,” ungkap JPU.
Dalam perkara ini, kelima terdakwa diduga memperkaya sejumlah korporasi yakni pertama, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, seluruhnya sejumlah Rp1.693.219.882.064. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas yaitu PT Musim Mas, PT Musim Mas-Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT Agro Makmur Raya, PT Megasurya Mas, PT Wira Inno Mas, seluruhnya sejumlah Rp626.630.516.604.
Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Permata Hijau yaitu dari PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Permata Hijau Sawit, dan PT Pelita Agung Agrindustri, seluruhnya sejumlah Rp124.418.318.216, sehingga perbuatan kelima terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara dengan rincian, pertama, merugikan keuangan negara seluruhnya Rp6.047.645.700.000 hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) RI Nomor: PE.03/SR – 511/ D5/01/2022 Tanggal 18 Juli 2022. Dari kerugian negara tersebut, terdapat kerugian negara sebesar Rp2.952.526.912.294,45 yang merupakan beban kerugian yang ditanggung pemerintah RI dari diterbitkannya PE atas perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar (Rp1.658.195.109.817,11), Grup Permata Hijau (Rp186.430.960.865,26) dan Grup Musim Mas (Rp1.107.900.841.612,08).
Kedua, dampak kerugian perekonomian negara karena memberikan dampak kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng yang menimbulkan beban tinggi terhadap perekonomian yang dirasakan oleh masyarakat dan perusahaan yang menggunakan bahan baku produk turunan CPO. Berdasarkan Laporan Kajian Analisis Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara Akibat Korupsi di Sektor Minyak Goreng dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 15 Juli 2022, terdapat kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng seluruhnya sebesar Rp10.960.141.557.673 yang terdiri dari kerugian rumah tangga sebesar Rp1.351.911.733.986 dan kerugian dunia usaha Rp9.608.229.823.687.
Terhadap tuntutan JPU tersebut, kelima terdakwa akan mengajukan Nota Pembelaan (Pleidoi) pada Selasa (27/12/2022). Kuasa Hukum terdakwa GM Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Denny Kailimang SH MH menilai, tuntutan JPU dari Kejagung RI sungguh sadis dan berat untuk kliennya.
“JPU Kejagung RI menuntut klien saya dengan hukuman kurungan penjara selama 11 tahun. Jadi kalau saya melihat cara kerjanya JPU Kejagung RI hampir 100 saksi yang rencananya akan dihadirkan di persidangan tapi yang diperiksa di ruang sidang hanya berapa saksi? Itu yang pertama. Kedua, dalam hal ini, tidak melaksanakan juga kebijakan-kebijakan pemerintah RI khususnya dalam hal ini, bahwa ada Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau UU Omnibus Law. Apakah JPU Kejagung RI mengerti atau tidak, bahwa segala macam masalah ekspor sudah diatur di dalam UU Ciptaker? Itu kan Presiden RI juga yang mengusulkan terbitnya UU Ciptaker tersebut, ” ujar Denny Kailimang SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, di dalam UU Ciptaker itu menyebutkan, jika ada kesalahan mengekspor kelapa sawit atau CPO itu masuknya ke dalam sanksi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 tahun 2021 Pasal 11 yaitu Sanksi Administrasi, izinnya dicabut tidak dikasih untuk PE. “Kemudian, JPU juga tidak mempertimbangkan bagaimana melaksanakan ekspor kelapa sawit dan CPO bisa menaikan devisa negara atau pendapatan negara, sehingga inflasi negara bisa diatasi,” tegasnya.
“Pasalnya, indeks inflasi negara ini sedang naik. Jadi apakah Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng tersebut adalah suatu yang harus dilakukan oleh Presiden RI? Mengalihkan anggaran dari BLT menjadi sebagian dana BLT itu adalah untuk minyak goreng,” papar Denny Kailimang SH MH dari kantor law firm Kailimang dan Ponto yang berlokasi di Jakarta ini.
Ia mempertanyakan, jadi uang BLT minyak goreng yang diberikan sebesar Rp100 ribu pada bulan April, Mei dan Juni 2022, apakah sebuah perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan pada waktu dialihkan anggaran BLT tersebut. “Siapa yang melakukan? Kok dibebankan kepada orang lain? Jadi negara tidak dirugikan, itu yang pertama,” ungkapnya.
Kedua, sambungnya, azas kemanfaatan ketika dana BLT itu dipindahkan ke subsidi minyak goreng punya manfaat bagi masyarakat Indonesia. “Jadi uang BLT minyak goreng itu dipakai ke masyarakat Indonesia,” tuturnya.
“Apalagi, ide pertama atau konsep pertama, filosofi pertama, tentang pergantian selisih harga eceran tertinggi (HET) penjualan minyak goreng Rp14.000 per liter itu sudah diputuskan juga lewat Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) dan diganti oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ada Rp11 triliun. Sebenarnya, saksi-saksi yang hadir di persidangan menyatakan, bahwa masih ada duitnya. Duit tersebut pun dari pengusaha yang melakukan ekspor minyak goreng atau CPO memasukan duit ke BPDPKS,” terangnya.
“Terakhir, masalah kelangkaan minyak goreng sudah terjadi sejak tahun 2021. Kelangkaan minyak goreng tersebut diakui semua pihak. Masa ekspor minyak goreng atau CPO yang terjadi pada Januari 2022 hingga 15 Februari 2022 sampai dengan 30 Maret 2022 itu yang dikatakan langka minyak goreng. Itu sama sekali tidak langka,” tukasnya.
Ia menyebutkan, barang minyak goreng ada tetapi karena adanya HET menjadi persoalan. “Jadi begitu keluar HET, minyak goreng langsung disapu atau diambil dari pasaran,” jelasnya.
Dikatakannya, ada beberapa hal di persidangan yang dikatakan oleh saksi dikesampingkan oleh JPU. “Seperti yang tadi saya katakan, bahwa faktanya banyak hal yang terungkap di persidangan, bahwa Domestic Market Obligation (DMO) atau izin pemenuhan pasar domestik untuk barang minyak goreng ada semua di pasaran. Itu administratif sesuai dengan UU Ciptaker atau UU Omnibus Law yang diturunkan ke dalam PP Nomor 29 tahun 2021 Pasal 11,” katanya.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah Kejagung RI mengatakan, bahwa Kejagung RI sudah menangkap mafia minyak goreng. Mafianya di mana?” tanyanya heran.
Ia mempertanyakan, apakah sekarang menjadi masalah, setelah terjadinya kelangkaan minyak goreng. “Ini bisa kita minta kepada Presiden RI buka dong pertemuannya dengan para pengusaha setelah kejadian mengatakan, mafia minyak goreng? Apa hasil pertemuannya” Kenapa tidak diungkap oleh JPU di persidangan?” tanyanya lagi.
“Bahwa hasil pertemuan itu apa? Itu kan ada pertemuan juga setelah pengusaha-pengusaha bertemu dengan Presiden RI. Pengusaha-pengusaha dipanggil ke Istana Negara. Apa yang terjadi? Jadi kita lihat di perkara ini, kalau begini keadaannya, maka hal ini sangat menyulitkan bagi pengusaha,” ucapnya.
Menurutnya, mana ada lagi pengusaha mau menolong ketika terjadinya perkara ini ataupun mau berpartisipasi ketika terjadi bencana atau keadaan darurat seperti ini. “Jadi dilema buat pengusaha. Ngasih salah dan tidak kasih juga salah. Ini kan jadi persoalan,” sesalnya.
“Mereka (para pengusaha) begitu antusias ingin turut berpartisipasi membantu pemerintah RI sampai harus berkorban dari HET Rp14.000 per liter menjadi Rp18.000 per liter untuk menjual produk minyak goreng curah di pasaran,” tandasnya. (Murgap)