Hendrajit
Jakarta, Madina Line.Com – Situs website media online caritau.com resmi di grand launching (diluncurkan) pada Sabtu siang (20/08/2022) di Gedung Usmar Ismail, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan (Jaksel).
Acara ini juga dilanjutkan dengan Talkshow mengambil tema “Mampukah UU ITE Memangkas Politik Identitas Pada Pilpres 2024?” Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo sebagai keynote speaker (pembicara utama) dalam acara ini disambung dengan narasumber lainnya yakni Pengamat Politik Ray Rangkuti, Pemerhati Media Sosial (Medsos) Eko Kuntadhi, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja, Advokat senior Dr Hotman Paris Hutapea SH MH dan Pengkaji Ilmu Geopolitik dari Global Feature Institute, Hendrajit serta dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) caritau.com Bhimo.
Pengkaji Ilmu Geopolitik dari Global Feature Institute, Hendrajit mengatakan, politik identitas kalau diartikan sebagai identitas yang dipolitisasi, memang tidak terkait hanya Suku, Agama, Ras dan Adat Istiadat (SARA) atau golongan saja. “Politik identitas juga tidak dibenarkan untuk digunakan. Tapi kita harus bijak dalam menyikapi politik identitas. Apalagi, kalau dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE),” ujar Hendrajit kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara ini.
Dikatakannya, jangan karena hanya synthom atau gejala daripada permukaan yang seringkali dijadikan isu, entah agama, suku dan golongan menyentuh ke arus besarnya yang justru realitas yang maknanya bukan memecah tapi malah menyatukan. “Seperti yang tadi saya sampaikan saat acara talkshow ini yakni nasionalis religius dan religius nasionalis. Jadi nasionalis mempunyai keagamaan yang kuat di semua agama dari masing-masing penganut agamanya tapi juga oramg-orang yang religius yang sadar tidak sendirian hidup di negeri ini tapi nasionalis. Makanya, disebut religius tapi nasionalis,” tegasnya.
“Itu garis besarnya dan tidak ada masalah, bahwa nanti menjabarkan aspirasinya ada yang politiknya. Misalnya, Partai Umat Islam Indonesia (PUII) yang diketuai oleh Amien Rais. Itu kan identitas tapi itu melalui cara-cara yang fair (adil), melalui demokrasi dan kontestasi,” terangnya.
Dijelaskannya, masalah kalah atau menang itu nanti realitas politik. “Hal-hal seperti itu tidak apa. Cuma perlu bayangkan di sini, kalau bicara politik identitas yang dikritik tadi, itu sebenarnya tidak sepihak. Selalu dua belah pihak,” katanya.
“Katakanlah satu sisi ada yang berdasarkan agama tapi di satu sisi ada pihak yang mancing. Jadi satu sisi memang katakanlah dari kalangan Islam. Sebetulnya itu bukan mewakili arus besar tapi terus memainkan politisasi yang kesannya mewakili umat Islam, sehingga direaksi oleh non muslim atau pihak liberal dan sekuler,” ucapnya.
Sebaliknya, sambungnya, memancing-mancing soal tidak pakai jilbab atau menyuruh pakai jilbab. “Jadi memancing bukan persoalan dengan kelompok Islam saja. Tapi pihak yang geram dan bereaksi itu dari arus besar juga. Semisal kasus mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub dan Pilwagub) DKI Jakarta pada tahun 2016,” tuturnya.
“Sebetulnya, di satu sisi, Ahok tidak bisa membedakan menyentuh sesuatu sekadar dari aspek fisik agama atau spiritual. Seperti surat Al-Maidah ayat 51, Ahok sebetulnya ingin mengatakan jangan pakai politik identitas lah. Tapi Ahok memakai contoh yang justru mengobarkan sesuatu yang spiritual,” terangnya.
Jadi Ahok tidak melihat kelompok kecil umat Islam, imbuhnya, tapi juga sudah menyentuh ke arus besar nasionalis religius. “Soal pada akhirnya duet Anies Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno yang terpilih jadi Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, itu soal lain lagi,” ungkapnya.
“Itu contoh ya. Bicara harus bijak juga. Tidak selalu sepihak dari Islam saja, misalnya. Tapi dari konteks ini, buktinya Ahok rontok tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Artinya apa? Bukan soal Islamnya,” urainya.
Menurutnya, ketika Ahok berkampanye maju jadi Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta pada tahun 2016, menyentuh hal spiritual, kebetulan yang dicontohkan adalah surat Al-Maidah ayat 51. “Itu juga bisa sebaliknya. Sebagai umat Islam juga harus berlaku bijak. Jangan sampai menyentuh aspek fisik dari agama lain,” ungkapnya.
“Hal yang dipertarungkan dalam sistem demokrasi yang normal di mana pun, itu adalah visi dan misi. Visi dan misi walaupun melekat dengan daerah dan agama asal si Calon Presiden (Capres) atau Cagub serta Calon Anggota Legislatif (Caleg) untuk ke depan, dituangkan di dalam kebijakan. Tidak harus mengatasnamakan agama atau suku,” paparnya.
Menurutnya, fakta Indonesia berhasil dibangun dan dipersatukan karena adanya geopolitik. “Hal tersebut menunjukan, bahwa hal tersebut atas hasil bersatunya masyarakat yang bersenyawa dengan daerahnya masing-masing dan itu bersatu. Mulai dari orang Ternate, Tidore, Jawa dan Sunda bersatu, dalam pengertian orang-orang ini bersatu dengan daerahnya masing-masing,” ringkasnya.
“Jadi tidak hanya aspek keagamaan tapi aspek agama yang menyatu dengan aspek geografis daerahnya. Itu yang akan diperjuangkan oleh Capres, Cagub dan Caleg melalui sebuah kebijakan politik atau program politik kalau calon tersebut berada di sebuah partai politik (parpol) atau sebagai calon pemimpin,” katanya.
Dijelaskannya, kalau calon seperti itu bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) mendatang, kalah menang itu realitas politik dan dinamika politik. “Saya yakin kalau itu menyentuh kepada aspek ekonomi dan budaya atau kebijakan-kebijakan yang diperjuangkan lewat program politiknya sebagai Capres maupun Cagub ataupun sebagai Caleg itu akan laku,” jelasnya.
“Hal itu karena menyentuh kepada masyarakat dan masyarakat akan bilang oh calon seperti itu yang saya butuhkan sebagai orang Aceh, sebagai orang Ternate, sebagai orang Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Capres ataupun Cagub dan Caleg itu biasanya langsung “nyetrum” kepada masyarakatnya,” tuturnya.
Ia mengingatkan, bahwa persoalan di masyarakat Indonesia itu supaya menyikapi dengan bijak identitas politik ataupun politik identitas dalam pengertian harus ada pihak yang menengahi kecenderungan identitas yang dipolitikan. “Tapi juga harus ada dorongan kuat untuk melihat secara keseluruhan kaitan antara aspirasi geografis dan kebijakan. Tadi saya juga secara tersirat berbeda pendapat dengan pendapat Eko Kuntadhi terkait syariah,” katanya.
“Syariah itu ditentang karena terkesan fanatik. Tapi itu tergantung. Seperti di daerah Aceh dan Sumatera Barat (Sumbar). Pemerintah pusatnya pun di sana dalam konsensinya seperti itu. Itu dalam segi alami mewakili karakteristik dan aspirasi geografis Aceh dan Sumbar,” jelasnya.
Hukum Islam itu, sambungnya, di dua daerah tersebut harus senafas. “Hukum Islam dalam kegiatan sosial dan segala macam kegiatan lainnya juga ditaati,” tandasnya. (Murgap)