Joner Sipangkar SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan Tipikor di tubuh institusi Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia (DJP RI) dengan terdakwa Anggota Tim Pemeriksa Wajib Pajak DJP RI Alfred Simanjuntak dan eks Supervisor DJP RI Wawan Ridwan di ruang Prof Dr H M Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis siang (21/04/2022).
Kedua terdakwa diduga telah merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah terkait pemberian diskon pembayaran pajak kepada 3 (tiga) perusahaan wajib pajak, yakni PT Gunung Madu Plantation (GMP), PT Walet dan PT Panin Bank, semestinya membayar pajak sebesar Rp1.307.000.000.000 (satu triliun tiga ratus tujuh miliar rupiah) tetapi membayar pajak ke negara hanya sebesar Rp1 triliun untuk PT Panin Bank. Sidang ini adalah sidang Tipikor lanjutan terdakwa Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Angin Prayitno Aji pada periode jabatan 2016 hingga 2018 yang sudah dijatuhi vonis hukuman penjara selama 9 (sembilan) tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.
Pada sidang kali ini, dihadirkan 5 (lima) saksi di antaranya Desi Anwar dan Dadang atas permintaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan penjelasan dan keterangan di hadapan JPU dan majelis hakim. Kuasa Hukum terdakwa Anggota Tim Pemeriksa Wajib Pajak DJP RI Alfred Simanjuntak, Joner Sipangkar SH mengatakan, melihat perkara kliennya harus dilihat secara keseluruhan.
“Pembayaran pajak oleh pihak wajib pajak juga harus dilihat dari segi menguntungkan negara. Jangan asal main oh yang salah si wajib pajak atau si petugas pajaknya,” ujar Joner Sipangkar SH dari kantor law firm Joner and Partner yang berlokasi di Jakarta kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang.
Dikatakannya, sebagai pihak wajib pajak, PT Panin Bank juga menghitung berapa jumlah pajak perusahaannya per tahun dan ada tim auditornya sendiri. “Katakan lah pajak yang dibayarkan oleh PT Panin Bank pada tahun 2016 sudah dibayarkan Rp1 triliun. Kemudian, pada tahun 2018 dihitung oleh petugas pajak DJP RI kurang bayar. Kurang bayarnya berapa? Kurangnya Rp307 miliar,” paparnya.
“Artinya, uang Rp1 triliun ditambah Rp307 miliar totalnya adalah Rp1.307.000.000.000 (satu triliun tiga ratus tujuh miliar rupiah),” urainya.
Dijelaskannya, jadi tidak ada merugikan keuangan negara. “Namun, dakwaan JPU kepada klien saya ini dengan tuduhan terima uang suap. Kalau suap itu tindakan melawan hukum atau melanggar pasal tertentu yang seharusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di DJP RI tidak boleh,” tegasnya.
“Klien saya tugasnya pada pemeriksaan wajib pajak. Kalau dilihat dari persepsi keuntungan negara, malah menguntungkan negara,” paparnya.
Coba disimak, sambungnya, John Liem Pratama dari perusahaan PT GMP, taruhlah nilai pajaknya Rp50 miliar hingga Rp100 miliar, lalu diperiksa oleh petugas pajak, masih kurang Rp20 miliar, jadi lumayan jumlah pajak yang harus dibayarkan ke negara oleh John Liem Pratama. “Pajak itu kalau dihitung sekarang dengan obyek yang sama, pasti akan berbeda nilainya. Kenapa bisa? Karena adanya pertukaran dokumen,” ungkapnya.
“Jadi pada saat ingin membayar pajak, dokumennya tidak ada. Namun, setelah diperiksa oleh petugas pajak, ada dokumennya,” urainya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Selasa (10/05/2022) dengan pemeriksaan saksi atas permintaan dari pihak JPU. “Harapan saya dengan adanya sidang hari ini, ada pertimbangan oleh majelis hakim terhadap adanya barang bukti (bb) yang diberikan di hadapan persidangan,” katanya.
Tentunya, sambungnya, pihaknya melihat dari soal suapnya saja. “Kalau benar itu ada sisi suapnya terhadap klien saya, tapi kalau tidak benar? Maka, harus dibuktikan,” terangnya.
“Problemnya kalau suap itu terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT), buktikan saja di persidangan bb-nya. Buktikan transkrip pembicaraannya, wajib pajak itu kan punya hak untuk menghitung jumlah pajaknya sendiri,” katanya.
Pada tahun 2016, imbuhnya, pajaknya dihitung oleh PT Panin Bank serta John Liem Pratama serta PT GMP. “Ternyata, setelah mereka bayar pajaknya pada tahun 2016, pada tahun 2018, petugas pajak bilang perusahaan mereka masing-masing masih kurang bayar uang pajaknya,” ungkapnya.
Ia menilai selama persidangan dilakukan, materi sidang harusnya melihat sisi seperti yang diungkapkannya tersebut. “Belum pada tahu itu JPU terhadap materi sidang perkara kliennya. Hanya melihat proses pemeriksaan klien saya ini terhadap pihak wajib pajak. Hanya melihat sampai di situ saja,” pungkasnya.
“Jadi ketika ada wajib pajak datang ke kantor DJP RI untuk membayar pajak, setelah itu baru diperiksa oleh petugas pajak. Ditambah kurangnya uang pajak dari wajib pajak sebesar Rp307 miliar dan dibilang oleh petugas pemeriksa wajib pajak, kurang bayar,” jelasnya.
Mau dapat dari mana uang sebesar itu oleh negara, kalau bukan dari wajib pajak, sambungnya, lumayan uang sebesar itu. “Jadi kalau untuk menjadikan seseorang tersangka ataupun terdakwa, bahwa akurasi dari bb harus komplet,” katanya.
Menurutnya, filosofi hukum mengatakan, bahwa dalam hukum pidana, pembuktian itu harus lebih terang daripada cahaya. “Artinya apa? Karena kalau kita dengan bb apa adanya, kita bawa orang untuk menjadi seorang tersangka ataupun seorang terdakwa, maka kita sudah dzolim terhadap orang tersebut,” tegasnya.
“Kecuali seseorang itu tertangkap tangan menerima suap. Tetapi kalau tidak OTT, berarti kan bb-nya harus komplet. Siapa yang memberikan uang suap tersebut,” paparnya.
Dikatakannya, John Liem Pratama didakwa oleh JPU memberi uang suap Rp40 miliar kepada petugas pajak DJP RI. “Apakah ada orang itu yang menjadi tersangka? Tidak ada,” terangnya.
“John Liem Pratama itu hanya seorang konsultan hukum yang memberikan uang Rp40 miliar. Siapa yang mau menerima uang tersebut dan dari mana asal uang Rp40 miliar tersebut? Nah, kita bayangkan, bahwa uang untuk suap itu berasal dari perusahaannya,” katanya.
Namun, sambungnya, hal tersebut tidak terbukti. “Tapi karena klien saya adalah petugas pemeriksa wajib pajak di DJP RI seorang ASN dan didakwakan oleh JPU menerima suap katanya, jadi bertentangan dengam hukum,” jelasnya.
“Persoalannya hanya di situ saja sebenarnya,” tandasnya. (Murgap)