Erick S Paat SH
Jakarta, Madina Line.Com – Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) terkait Hukuman Mati bagj Koruptor saat ini sedang digodok oleh MA agar diterbitkan. PerMA Hukuman Mati bagi Koruptor dianggap sebagai sebuah langkah positif guna mengurangi angka tindakan Kejahatan Luar Biasa (KLB) atau extraordinary crime karena secara perlahan-lahan Tipikor lambat laun berakibat merampas dan membunuh perekonomian sebagian rakyat Indonesia, dan akibat lain yang ditimbulkan ekonomi Indonesia bisa berefek kepada kemiskinan.
Di samping itu, Tipikor juga sebuah perbuatan KLB seperti Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Penyalahgunaan Narkoba yang perlu dicegah. Menurut Tokoh Advokat Indonesia Erick S Paat SH, bahwa PerMA Hukuman Mati bagi Koruptor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 yang berbunyi, “Setiap warga negara memiliki hak hidup yang sama di mata hukum”.
“Selain itu, Indonesia juga menganut tata peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. PerMA ada di bawah urutan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Jadi PerMA kedudukannya di bawah UU,” ujar Erick S Paat SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu siang (16/11/2021).
Intinya, sambungnya, PerMA Hukuman Mati bagi Koruptor tidak boleh posisinya mengalahkan UU apa pun itu yang saat ini berlaku di Indonesia. “Seperti UU yang berlaku saat ini yakni UU Tindak Pidana Korupsi (Tjpikor), UU Terorisme dan UU Narkoba,” tegasnya.
“Urutan tata peraturan perundang-undangan itu yakni UUD 1945, UU Tipikor, UU Terorisme, UU Narkoba, UU Kehakiman dan UU lainnya dan Peraturan perundang-undangan atau Perppu. Kalau pada UU Tipikor ada dijelaskan tentang Hukuman Mati bagi Koruptor, maka semua pihak mulai dari pejabat negara dan hakim pun harus menghormati dan melaksanakan UU Tipikor tersebut,” jelasnya.
Dikatakannya, PerMA tentang Hukuman Mati bagi Koruptor tidak harus dihormati dan dihargai bila sudah diterbitkan karena kedudukannya di bawah UU dan posisi teratas itu sendiri adalah UU. “Dengan demikian, dengan adanya PerMA ini nantinya MA bisa mengintervensi hakim. Seharusnya tidak boleh. Maka dari itu, saya melihat PerMA itu sendiri tidak memunyai kekuatan hukum,” ungkapnya.
Ia mengusulkan, agar Ketua MA harus mencabut PerMA tersebut. “Bila PerMA tentang Hukuman Mati bagi Koruptor itu jadi disahkan dan diterbitkan, maka Ketua MA ada keinginan menegakan hukum di negeri ini tapi dengan sendirinya juga, Ketua MA bisa melanggar hukum karena tidak memiliki kekuatan hukum PerMA tersebut,” urainya.
“Kedudukan PerMA di bawah UU. Kalau ada UU yang menyebutkan koruptor harus dihukum mati, maka koruptor harus dihukum mati. Tidak boleh pandang bulu,” jelasnya.
Menurutnya, bila PerMA tentang Hukuman Mati bagi Koruptor jadi diterbitkan, mulai dari Presiden, Menteri dan Ketua MA hingga pejabat lainnya harus menaatinya dan tidak boleh melanggarnya. “Coba bayangkan, apabila Ketua MA dan institusinya MA telah melanggar hukum karena menerbitkan PerMA tentang Hukuman Mati bagi Koruptor, bagaimana masyarakat Indonesia mau percaya terhadap benteng terakhir institusi hukum itu sendiri,” paparnya.
“Harapannya, bisakah ketika PerMA tentang Hukuman Mati bagi Koruptor ini dilahirkan, mengurangi angka kemiskinan akibat Tipikor yang dilakukan oleh koruptor yang telah menyusahkan dan menyengsarakan rakyat Indonesia,” tandasnya. (Murgap)