Kuasa Hukum dari LBH Marwa Saron Andar Beniala Lumbanraja SH (kedua dari kanan) foto bersama rekannya di PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Kamis malam (12/11/2020). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang berlokasi di Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, menggelar sidang perdana persidangan anak terkait dugaan keterlibatan anak-anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada demo penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) Omnibus Law pada 08 Oktober 2020 di Ruang Kusuma Atmadja 4, PN Jakpus, Kemayoran, Jakpus, Kamis malam (12/11/2020).
Kuasa Hukum dari 2 (dua) anak SMK yang diduga terlibat dalam aksi tersebut yakni Andar Beniala Lumbanraja SH dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marwa Saron di bawah naungan Hotma Sitompul SH mengatakan, kehadirannya dalam persidangan perdana ini untuk membantu anak yang diduga sebagai pelaku demo anarkis tetapi sebenarnya anak-anak SMK ini sebagai korban dari alat komunikasi berupa Handphone (HP) atau telpon genggam. “Mereka juga tidak tahu menahu apa itu isi UU Ciptaker Omnibus Law. Tetapi di sini kan kita melihatnya mereka pada dasarnya terikut-ikut. Walaupun demikian, ada hak mereka untuk mendapatkan keringanan ataupun kembali kepada orangtuanya,” ujar Andar Beniala Lumbanraja SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di sela-sela acara persidangan perdana ini.
Dikatakannya, namun pada faktanya, pada waktu di kepolisian dan kejaksaan, ada hal-hal anak-anak SMK ini yang tidak terpenuhi seperti yang diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) dan UU Perlindungan Anak. “Mereka tidak pernah dipertemukan dengan korban. Sementara, saat ini, dalam proses persidangan perdana ini kami mintakan kepada majelis hakim agar korban dihadirkan. Tapi majelis hakim mengambil kesimpulan, bahwa jaksa sebagai wakil negara sudah tepat untuk tetap tidak perlu untuk menghadirkan para korban,” terangnya.
Padahal, sambungnya, pihaknya berharap ada kemungkinan sampai perkara ini diteruskan. “Pasalnya, mereka sudah merasakan jeruji tahanan. Perlu saya sampaikan, mereka juga sudah mendapatkan penyiksaan dan ada stigma negatif pada mereka,” tegasnya.
“Ada pemukulan terhadap anak di Markas Polisi Daerah (Mapolda) Metro Jaya dan mereka tidak mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan pelajaran dari sekolahnya lewat datang saat berdering (daring) maupun Pelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena mereka ditahan di Mapolda Metro Jaya,” katanya.
Untuk itulah, imbuhnya, sebagai Tim Kuasa Hukum dari anak-anak SMK ini telah menyampaikan kepada majelis hakim, bahwa pihaknya memiliki saran agar UU Perlindungan Anak dan UU PerMA jangan hanya teori saja tetapi harus melaksanakan prakteknya serta harus secara detail. “Hukum bukan untuk memberikan efek jera. Tetapi hukum itu juga harus berkeadilan. Untuk apa kita membuat UU Perlindungan Anak? Sementara, teorinya berbeda dengan prakteknya,” sesalnya.
*Sementara, di sini itu hukum itu bukan harus menjadi dasar, apakah seseorang itu harus menjadi pelaku tetapi mereka harus memunyai efek bagaimana memberikan pelajaran di mana di masa saat ini masih di masa labil. Mereka juga tidak mengerti,” paparnya.
Dijelaskannya, sebagai contoh kita ambil teori, misalnya, ketika tidak ada pandemi Corona Virus Disease-19 atau Covid-19, mereka akan belajar langsung tatap muka dengan guru-gurunya. “Sementara, saat ini mereka juga tidak tahu apa itu isi UU Ciptaker Omnibus Law. Mereka juga kurang pengawasan dari guru dan orangtua di tengah pandemi Covid-19 saat ini dan mereka pamitan ke orangtuanya bukan untuk demo batalkan UU Ciptaker Omnibus Law dan mereka hanya ikut-ikutan saja demo karena melihat di media sosial (medsos) dan mereka benar-benar tidak tahu apa itu UU Ciptaker Omnibus Law,” terangnya.
“Mereka di lapangan juga tidak sama seperti yang ada di laporan pada Berita Acara Perkara (BAP) seakan-akan mereka merusak fasilitas umum (fasum) di Jakarta. Mereka itu tidak ada melakukan hal-hal tersebut,” ungkapnya.
Apakah kalau ada kejadian kericuhan, tanyanya, anak-anak SMK itu punya kekuatan untuk bisa lari ke sana-kemari dan merusak fasum seperti menghancurkan halte Trans Jakarta di Harmoni dan Pos Polisi di Harmoni, Jakpus, dalam waktu sekejap? “Itu harus diteliti. Jangan membuat berkas perkara berulang-ulang. Tetapi di dalam pelaksanaannya tidak melihat siapa yang jadi korban,” jelasnya.
“Maka dari itu, harus dibuktikan. Korban itu harus dihadirkan dong dalam persidangan. Apakah dia korban sebenar-benarnya? Jangan menduga-duga korban, padahal, pada faktanya bukan korban. Seharusnya, dihadirkan korban untuk dimediasi dulu,” urainya.
Ia menyatakan, bahwa pihaknya siap untuk apapun resiko yang akan diambil yang telah dilakukannya, apakah mengganti kerugian, atau hal-hal lainnya. “Sebanyak dua anak atau klien yang kami bela hukumnya ini berasal dari salah satu SMK. Statusnya pelajar. Namanya Muhamnad Azri (15) dan Adi (15). Masih duduk di kelas 1 SMK,” ujarnya.
“Sebenarnya, kita bisa menyelesaikannya secara diversi. Jadi untuk apa dibuat diversi, dengan mulai adanya penyelidikan hingga ke penuntutan, kalau di penyelidikan gagal, seharusnya di penuntutan harus ada hasilnya. Harus dilatarbelakangi dan harus dilihat ke belakang,” katanya.
Ia mengharapkan agar anak-anak SMK yang saat ini masih ditahan di Mapolda Metro Jaya dikembalikan kepada orangtuanya. “Pasalnya, orangtua juga seperti yang disampaikan oleh lembaga pemasyarakatan (laps), oramgtua juga mampu untuk memfasilitasi atau mengembalikan psikologis anak agar mereka tidak terstigma dari orang lain,” tuturnya.
“Tugas kita dari penasehat hukum dari anak-anak SMK ini harus memberikan kepada mereka pandangan yang bagus supaya mereka bisa menjadi generasi bangsa yang bagus pula. Mereka sudah 1 (satu) bulan lamanya ditahan di Mapolda Metro Jaya sejak 10 Oktober 2020 hingga 12 November 2020,” tandasnya.
Menurutnya, hakim dapat mengembalikan anak-anak SMK yang menolak UU Ciptaker Omnibus Law. (Murgap)