Husnul
Jakarta, Madina Line.Com – Ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (Gempa) Husnul mengatakan, Lembaga Tinggi Adat Republik Indonesia (Lemtari) dan lembaga tersebut saat ini sedang memerjuangkan bagaimana kebijakan desentralisasi terkait adat dan budaya-budaya lokal itu hidup di daerah.
“Saya kira masyarakat yang hidup di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta bukan hanya masyarakat asli Betawi saja tetapi ada juga orang-orang daerah lain. Terkait budaya lokal bisa masuk ke ranah pendidikan dan sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tahun 2014, saya kira daerah-daerah itu masih lambat dalam mengimplementasikan kebijakan desentralisasi, makanya budaya lokal itu runtuh karena tidak masuk dalam kurikulum pendidikan,” ujar Husnul kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di sela-sela acara pertemuan mahasiswa dengan raja-raja nusantara di Jambrud Inn Hotel, Kenari, Jakarta Pusat (Jakpus), Sabtu siang (18/03/2017).
Dikatakannya, bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami transisi (perpindahan), dulu ada sistem kerajaan seperti di Aceh, ada Raja Iskandar Muda. Namun, saat ini sudah masuk sistem trias politica (eksekutif, yudikatif dan legislatif) dan raja-raja sekarang ini tidak terlalu aktif dan kebijakan raja-raja dilumpuhkan oleh Pemerintah Indonesia dan para raja dimiskinkan, dan pada akhirnya, tidak punya pengaruh di tengah-tengah masyarakat karena semua kebijakan diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.
“Ketika terjadi ketidakadilan dan rakyat melakukan perlawanan atas nama warga bukan atas nama raja. Saya kira, raja-raja inilah yang harus kita lestarikan dan hidupkan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti kriminalisasi ulama, kalau kita lihat sejarah dan potret sebuah bangsa, ulama dan santri, terlibat secara langsung dalam memertahankan bumi Indonesia,” ungkapnya.
Menurutnya, bahwa bukan menjadi rahasia umum lagi, masyarakat Indonesia harus kembali kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 asli sebelum diamandemen. “Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai tempat aspirasi rakyat untuk negara. Ketika DPR RI sudah tidak mampu menjalankan aspirasi rakyat dan hanya menjalankan kepentingan-kepentingan partai politik (parpol) saja, saya kira pasti parlemen jalananlah yang menjadi solusinya. Level ulama saja melakukan audiensi dengan DPR RI mana didengarkan? Kemarin, kita audiensi dengan Komisi III DPR RI, malah kita ditanya, ngapain kasus Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta dengan nomor urut 2 (dua) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dibawa ke DPR RI, terlalu istimewa Ahok buat Komisi III DPR RI. Demikian kata seorang anggota Komisi III DPR RI menyatakan seperti itu,” jelasnya.
“Saya kira ini terkait juga dengan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) tentang pengaktifan gubernur. Coba bayangkan seperti Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh, tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus korupsi, langsung diciduk dan tidak ada tawar menawar. Dari perspektif saya, ada desentralisasi hukum dari Ahok, yang katanya kebal hukum ini dan kita butuh seluruh stackholder, mahasiswa dan ulama serta pemangku adat dan norma, semuanya, sama-sama ikut andil dalam menegakan supremasi hukum,” papar Husnul mahasiswa Semester IV di Universitas Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta.
Ia menilai sudah berjalan hampir 3 (tiga) tahun Presiden RI ke-7 Ir H Joko Widodo atau Jokowi memimpin Kabinet Kerja, namun selama itu pula Presiden Jokowi menawarkan program Nawa Cita yang realisasinya malah Duka Cita bagi warga adat yang tanahnya direbut oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab dan Pemerintah Indonesia tidak bisa melindungi. “Saya mengharapkan raja-raja seluruh nusantara dengan para stackholder (pengambil kebijakan) sama-sama memerjuangkan tanah adat dari penyerobotan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Contoh kasus yang terjadi terhadap penyerobotan tanah adat, 40 (empat puluh) kepala keluarga (KK) di Karawang, Jawa Barat (Jabar), yang sempat tidur di kantor Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, baru-baru ini,” katanya.
“Dari kasus penyerobotan tanah adat tersebut tercatat sebanyak 11 (sebelas) orang ditangkap karena melakukan perlawanan dan 8 (delapan) orang dibebaskan dan 3 (tiga) orang divonis 1 (satu) tahun penjara dan seorang lagi 8 bulan hukuman penjara serta satu orang lagi 7 (tujuh) bulan penjara. Saya kira, mahasiswa perlu mendampingi proses hukum dan juga pengembalian hak mereka para warga adat yang terkena penyerobotan. Ini yang sedang kita galakan dan membangun kekuatan untuk memerjuangkan keadilan tegak di NKRI,” katanya.
Dijelaskannya, semua organisasi masyarakat (ormas) dan seluruh pemangku kebijakan yang peranannya berfungsi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk lembaga tertinggi adat dan raja-raja nusantara akan melakukan konsolidasi nasional dan rencananya konsolidasi nasional akan digelar dalam waktu dekat ini. “Sekarang ini kita juga sedang menyiapkan aksi bela Islam,” tandasnya. (Murgap)