Retno Pratiwi
Jakarta, Madina Line.Com – Direktur Jaminan Sosial (Jamsos) Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHIJSK) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Retno Pratiwi melakukan kunjungan kerja (kunker) ke daerah Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Jum’at pagi (06/11/2020). Kunkernya kali ini ke Surabaya untuk memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada para pekerja dan buruh yang mengalami penurunan daya beli dan berupah di bawah Rp5 juta atau dengan upah Rp4.600.000 (empat juta enam ratus ribu rupiah).
“Jadi pekerja yang mendapatkan BSU ini statusnya masih bekerja tetapi daya belinya mulai menurun. BSU ini diberikan untuk memertahankan daya beli mereka,” ujar Retno Pratiwi kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di ruang kerjanya Kantor Kemnaker lantai 8 ruang Direktur Jamsos Ditjen PHIJSK Kemnaker, Jakarta, Senin siang (09/11/2020), usai melakukan kunker ke Surabaya, Jatim.
Dikatakannya, BSU itu bukan berarti perusahaan menurunkan upah pekerjanya. “BSU ini adalah bantuan dari Pemerintah Indonesia melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diberikan kepada peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Kick offnya (Awalnya) diberikan pada bulan Juli 2020 dan sudah harus menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan per Juni 2020, bagi pekerja yang bakal menerima BSU,” jelasnya.
“Kalau menjadi pesertanya pada bulan Agustus 2020 tidak bisa mendapatkan BSU dari Pemerintah Indonesia,” tegasnya.
Dijelaskannya, BSU tidak diberikan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan yang sudah memunyai upah Rp5 juta, kemudian ditambah lagi dana BSU Rp600 ribu, bukan seperti itu. “Bukan pula berarti pemberi kerja itu menurunkan gaji karyawannya dari Rp4.600.000 menjadi Rp4 juta,” terangnya.
“Pekerja yang menerima BSU di Surabaya, Jatim, pekerja dengan status pekerja borongan. Bagus sekali perusahaan di sana, walaupun status pekerjanya adalah borongan tetap diikutsertakan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” paparnya.
Menurutnya, satu penghargaan dari Pemerintah Indonesia bagi pemberi kerja itu sadar, bahwa sebetulnya mengikutsertakan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan itu tidak sekadar kewajiban saja tetapi menjadi kebutuhan bagi si pekerja. “Target Pemerintah Indonesia adalah pekerja yang mendapatkan BSU dengan sasaran 12,5 juta pekerja,” ungkapnya.
Dikatakannya, BSU itu menggunakan uang Pemerintah Indonesia bukan uang dari BPJS Ketenagakerjaan. “Anggarannya pasti ada di Kemnaker. Kalau menggunakan uang BPJS Ketenagakerjaan, berarti itu uangnya pekerja juga. BSU ini bukti, bahwa Pemerintah Indonesia peduli,” katanya.
Mekanisme penyaluran BSU dari Pemerintah Indonesia, imbuhnya, menggunakan data dari BPJS Ketenagakerjaan yang diserahkan kepada Kemnaker. “Jadi datanya pekerja yang ada di BPJS Ketenagakerjaan diserahkan kepada Kemnaker. Setelah dilakukan verifikasi dan validitasi data serta nomor rekening (Norek) bank pekerja, itulah untuk memroses pencairan dana BSU tersebut. Tetapi memang ada kendala yang jumlahnya banyak sekali,” sesalnya.
“Dari verifikasi data itu karena yang mengisi data itu pekerja dan pemberi kerjanya ternyata ada beberapa permasalahan. Sebagai contoh, namanya benar, misalnya, Udin namanya. Kemudian, Nomor Induk Kependudukannya (NIK) 01. Noreknya di Bank Himbara, sampai berkali-kali si Udin ini protes ke Kemnaker belum juga menerima dana BSU. Nah, kita cari tahu dan mencoba melihat datanya di BPJS Ketenagakerjaan ada tidak dia mengusulkan dapat dana BSU? Itu yang pertama. Kedua, datanya dia benar tidak? Ternyata, gajinya lebih dari Rp5 juta atau kepesertaannya dimulai pada Agustus 2020. Maka, tidak cocok,” urainya.
Nah, sambungnya, akhirnya si Udin ini tidak diusulkan oleh perusahannya tempat ia bekerja, sehingga namanya tidak terdaftar dalam penerima BSU. Jadi mekanisme itu harus dilihat benar-benar,” tuturnya.
“Kemudian, orang yang bsrnama Udin banyak. Kalau tadi Udin dengan NIK 01, Udin yang terdaftar rupanya Udin dengan NIK 04. Ternyata, bukan Udin 01. Artinya, lihat juga datanya, apakah Udin 01 yang diusulkan ke kita atau Udin 04 yang diusulkan. Jadi tetap harus ada diusulkan. Bahwa saya tidak hanya diusulkan oleh perusahaan tempat saya bekerja tetapi oleh BPJS Ketenagakerjaan juga,” katanya.
Dipaparkannya, data pekerja harua sesuai dengan nama yang ada di Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) yang dipegang dan Noreknya juga harus sesuai dengan nama pekerja di E-KTP. “Jangan kasih Norek istri. Kemudian, jangan juga memasukan Norek bank yang sudah expired atau mati. Kalau Norek bank pekerja mati, maka dana BSU tidak bisa disalurkan dan kita kembalikan datanya ke BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.
“Coba BPJS Ketenagakerjaan cek kenapa Noreknya mati? Jangan-jangan si pekerja ini sudah tidak lagi menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Dengan adanya BSU ini, semua pihak harus mampu membuat sistem yang bisa menjadi tolok ukur pengawasan bagi semua pihak,” pesannya.
Misalnya, sambungnya, masih ada perusahaan daftar sebagian (PDS). “Jadi upahnya pekerja Rp5,3 juta tetapi upah yang dilaporkan hanya Rp4 juta. Dengan adanya sistem terintegrasi ini nantinya bisa terbentuk secara otomatis dan bisa mengawasi baik pekerja dan sistemnya bisa mengontrol. Benarkah upah yang dilaporkan itu seperti upah yang saya terima atau tidak, itu pertama,” pungkasnya.
“Kedua, ini sebenarnya momentum yang tepat bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan jumlah kepesertaan. Setiap hari ada yang mengadu ke kita, bahwa pekerjanya ada yang tidak didaftarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan BSU. Ini menjadi catatan juga bagi kita. BPJS Ketenagakerjaan harus bisa memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kepesertaannya. Batas pemberian BSU hingga akhir Desember 2020,” katanya.
Hingga kini, posisi penyaluran BSU seperti yang diusulkan 12,5 juta pekerja atau buruh, sebanyak 99,9% sudah tersalurkan. “Artinya, tinggal 0,06% saja. Sisanya itu masih menyangkut apakah dia menabung di Bank Himbara, atau Norek yang tidak valid dan sudah mati, dan Noreknya bermasalah. Ada Noreknya yang sudah terblokir,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia mengajak, semua pihak bersama-sama saling memberikan data pekerja yang benar, dan BPJS Ketenagakerjaan juga harus memerbaiki data-datanya. “Segeralah data-data pekerja yang ada di BPJS Ketenagakerjaan dirapihkan, sehingga ketahuan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan yang masih aktif dan data ke depan harus lebih rapih. Apapun alasannya, data ketenagakerjaan yang mendekati adalah data yang ada di BPJS Ketenagakerjaan. Data BPJS Kstenagakerjaan segera diintegrasi dengan sistem data yang ada di Kemnaker,” jelasnya.
“Apapun alasannya, yang menyiapkan regulasi menyangkut jamsos ketenagakerjaan adalah Kemnaker karena BPJS Ketenagakerjaan tidak punya kewenangan untuk membuat regulasi,” tandasnya. (Murgap)