Politisi Partai Golkar Indra J Piliang (kedua dari kanan) sedang memberikan paparan pada Diskusi Publik KMI, di Restoran Gado-Gado Boplo, Jakpus, Senin siang (17/04/2017). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Bertempat di Restoran Gado-Gado Boplo, Jalan Gereja Theresia Nomor 41 Menteng, Jakarta Pusat (Jakpus), Senin siang (17/04/2016), Kaukus Muda Indonesia (KMI) menggelar acara Diskusi Publik yang mengambil tema “Dogma dan Liberasi Politik Dalam Mewujudkan Politik DKI Jakarta Damai”.
Adapun pembicara kali ini, yaitu Indria Samego (Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI), Arbi Sanit (Pengamat Politik Universitas Indonesia atau UI), Indra J Pilliang (Politisi Muda Partai Golkar) dan KH Imam Aziz (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU). KMI diketuai oleh Edy Luhung Humaidi.
Edi mengatakan, diskusi ini diadakan untuk mewujudkan politik Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta damai. “Sebelum Pilkada DKI Jakarta berlangsung, sudah heboh, pemilihan yang dilakukan waktu Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dengan Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Adang Daradjatun. Ketika tahun 2012 setelah Ramadhan dan sepanjang Ramadhan banyak opini yang tersebar, dan akhirnya, Presiden Republik Indonesia (RI) Jokowi yang menang,” katanya kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di sela-sela acara diskusi ini.
“Jadi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dilalui melalui proses-proses karena metodenya akan dilakukan masing-masing partai politik (parpol), semisal Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan parpol lainnya,” paparnya.
Dikatakannya, pendukung 1 (satu) pasangan calon gubernur (Paslongub), tetap massa bagian dari Pilgub DKI Jakarta karena fenomena yang ada sehari-hari menggunakan bahasa yang seram tapi kemampuan bahasa kita yang tidak terbatas juga,” katanya.
Sebagai warga Jakarta, sambungnya, dari sejak dulu warga Jakarta mulai dari pengamen sudah ada tapi bukan warga asli dari lingkungan Jakarta tapi pendatang dari Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng) dan Sumatera. “Tapi dana parpol masih menjadi masalah pertarungan tidak ada lagi partai yang idiologis saat ini,” terangnya.
Indria Samego menjelaskan, bahwa tidak sembarang orang mendengar satu Paslongub DKI Jakarta membagikan 9 (sembilan) bahan pokok atau sembako dan membagikan amplop yang diduga dilakukan oleh satu Paslongub DKI Jakarta nomor urut 2 (dua) ataupun Paslongub DKI Jakarta dengan nomor urut 3 (tiga). “Untuk biaya kampanye termasuk di dalamnya suatu keinginan Paslongub DKI Jakarta tidak balik duit, tidak jadi masalah, dan perlu diapresiasi, bahwa ada sisi tentang Pilkada DKI Jakarta,” paparnya.
Indra J Piliang menjelaskan, bahwa keramaian dan kehebohan yang terjadi selama Pilkada DKI Jakarta ini di media sosial (medsos) karena memang ramai dilakukan mulai dari yang sungguh-sungguh berita benar sampai berita yang tidak benar atau hoax. “Betul, sementara di zaman Presiden RI ke-2 (dua) Almarhum (Alm) HM Soeharto dan pelakunya itu rezim yang berkuasa kemudian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI yang sekarang namanya Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga ikut main, tapi Presiden Soeharto sudah bekerja mencari pusat-pusat kekuasaan dan hikmah positifnya dari pergeseran dari sistem yang otoriter ada pemegang kekuasaan politik yang sangat mendominasi politik nasional di masa dulu, dimulai dari bawah mulai dari daerah mana pun,” katanya.
“Apa kata Cendana ikut di dalam sistem yang otoriter ini politik akan semuanya terkendali bahasanya otoritas keamanan semua terkendali yang di bawah itu bisa dideteksi secara dini, bahwa kejadiannya akan demikian walaupun tidak 100% berhasil. Fenomena Lapangan Banteng dulu itu adalah satu bukti juga, bahwa tidak semuanya bisa dikendalikan tetapi 6 (enam) kali pemilihan legislatif (Pileg) di masa lalu yang pesertanya hanya dua partai dan satu yang itu relatif semuanya terkendali di masa Soeharto,” katanya.
Menurutnya, sisi positifnya terlihat pada pemencaran pusat-pusat kekuasaan dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekarang yang di dalam konteks itu sudah sangat berani, bahkan itu menjadi sarana medsos. “Bangun tidur langsung mainkan medsos dan apa yang terjadi dengan segala macam ya prosesnya memberikan informasi-informasi hoax. Dulu zaman Golkar berkuasa, tidak ada terjadi hal ini dan syukur buat kita, bahwa memang terjadi apa yang disebut sebagai liberasi politik di dalam proses electoral thresold itu yang diharapkan, bahwa kontestasi secara damai itu merupakan konsekuensi dari demokratisasi bukan seperti di masa lalu, bahwa pergantian pemimpin di masa lalu itu suksesi berlangsung secara semua tapi karena pemimpinnya sudah ditunjuk tidak ada dimensi kontestasi dan partisipasi publik,” tegasnya.
Padahal, sambungnya, kita menginginkan, bahwa pemimpin siapapun dia adalah produk dari kontestasi dan partisipasi. “Inilah demokrasi, bahwa kontestasi partisipasi itu memang sangat bervariasi antar berbagai masyarakat di sebagian negara-negara yang sudah ada mata demokrasinya. Tentu saja, apa yang dikatakan kontestasi dan partisipasi berlangsung secara mekanistis ada di negara-negara seperti Singapura,” ungkapnya.
“Singapura saja, tentara memilih Australia, Amerika Serikat (AS) atau Inggris itu biasa antara mereka yang bersenjata memilih karena memang ada kesadaran tentang politik walaupun kalau tentara tidak bisa dipilih tetapi dia paling tidak punya hak politik,” ujarnya.
Dijelaskannya, ketika dibalik bilik suara itu berposisi atau berkedudukan yang sama dengan semua warga negara Indonesia (WNI) yang sudah punya hak memilih menjadi senjata yang ditinggalkannya. “Persoalannya di kita, agak berbeda. Jadi kalau misalnya kata hati seorang Indonesianis dari Australia yang menulis buku sangat fenomenal dengan judul Clan of Constitutional Democracy, dia mencatat Pemilihan Umum (Pemilu) di tahun 1955 itu, Pemilu terbaik dalam sejarah Pemilu Indonesia, dalam arti ukuran-ukuran negara konstitusional ada partisipasi, ada kontestasi, tidak ada akibat-akibat yang menciderai demokrasi dalam pemilihan itu,” tegasnya.
“Proses menuju kontestasi partisipasi itu dulu ada istilah ayat itu biasa, bahkan misalnya ada gesekan atau tidak ngomong antara mertua dan menantu, mertuanya milik menantunya. Yang begitu dianggap biasa tapi ya itu mau memilih Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta Ahok terserah menantunya,” terangnya.
Terpenting, imbuhnya, apa yang demokrasi dengan mengumbar ancaman kekerasan intimidasi dan lain-lain kegiatan yang super sifat kekerasan itu disingkirkan dan diganti dengan kontestasi partisipasi tapi secara terbuka. “Persoalannya, bahwa di dalam sejarah politik kita ya memang sekali lagi ada hal-hal yang membedakan kita kenal mereka dari negara-negara yang sudah mapan dari negara yang sudah matang demokrasinya dan sudah mapan prosedur-prosedurnya,” tandasnya. (Murgap)