Amin Nasution SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan dengan nomor pokok perkara 109/Pidsus/2025 perkara kasus dugaan Tipikor proses penerbitan jaminan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) PT Kalimantan Sumber Energi (KSE) pada PT Asuransi Kredit Indonesia (PT Askrindo) pada 2018 hingga 2021, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (17/02/2025).
Adapun terdakwa pada perkara ini yakni Agus Hartana (AH) selaku Pimpinan PT Askrindo Kantor Cabang Utama (KCU) Jakarta Kemayoran tahun 2018-2019, Adi Kusuma Wijaya (AKW) selaku Kepala Bagian (Kabag) Pemasaran PT Askrindo KCU Jakarta Kemayoran tahun 2018-2019, Dwi Agus Sumarsono (DAS) selaku Direktur Marketing Komersial PT Askrindo tahun 2018-2020, dan Alfian Rifai (AR) selaku Direktur Utama (Dirut) PT KSE. Perlu diketahui, kasus ini bermula saat terdakwa AR selaku Dirut PT KSE mengajukan permohonan Kontra Bank Garansi kepada PT Askrindo.
Tapi dokumen itu ternyata tidak memenuhi syarat. Dokumen itu digunakan sebagai dokumen pendukung dalam pengajuan Kontra SKBDN kepada PT Askrindo dengan nilai pertanggungan sebesar Rp170 miliar.
Terdakwa AH kemudian menyetujui pemberian Kontra SKBDN PT KSE yang seharusnya tidak layak untuk disetujui. Kemudian, terdakwa AKW menyuruh terdakwa AR untuk memecah permohonan Kontra SKBDN senilai Rp170 miliar menjadi 5 (lima) permohonan.
Hal itu dilakukan agar limit (batas) kewenangan memutus akseptasi minimal 3 (tiga) Direksi. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdakwa AKW mengarahkan dan memerintahkan analis dalam melakukan Kajian Kelayakan untuk meng-up scoring Capacity dan Condition PT KSE yang seharusnya tidak layak menjadi layak untuk mendapatkan fasilitas Kontra SKBDN PT Askrindo.
Selain itu, terdakwa AKW juga diduga menerima uang sebesar Rp200 juta dari terdakwa AR. Terdakwa DAS diduga meminta terdakwa AR memecah pengajuan Kontra SKBDN senilai Rp170 miliar menjadi lima permohonan agar limit kewenangan memutus akseptasinya hanya sampai Kepala Divisi (Kadiv) UWS Kantor Pusat PT Askrindo serta diduga mendapat 1 (satu) unit motor Harley Davidson dari terdakwa AR.
Terdakwa AR kemudian diduga memberikan 1 (satu) unit motor Harley Davidson kepada terdakwa DAS. Tak hanya itu, terdakwa AR juga diduga memberi uang sebesar Rp200 juta kepada terdakwa AKW, sehingga mendapatkan kemudahan fasilitas Kontra SKBDN dari PT Askrindo.
Kasus ini diduga mengakibatkan dugaan kerugian negara sebesar Rp170 miliar yang saat ini masih dalam penghitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Atas perbuatan itu, para terdakwa disangkakan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Juncto (Jo) Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor Nomor 31 tahun 1999 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pada sidang kali ini, JPU menghadirkan 7 orang saksi untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan tim Kuasa Hukum dari keempat terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Adi Kusuma Wijaya (AKW) selaku Kabag Pemasaran PT Askrindo KCU Jakarta Kemayoran tahun 2018-2019, Amin Nasution SH MH mengatakan, keterangan ketujuh saksi di muka persidangan sangat produktif buat para terdakwa.
“Terutama keterangan saksi terakhir ini, bahwa kerugian negara itu masih berjalan terus ditutupi artinya nanti bisa sampai satu titik 0. Karena masih ada reasuransi dan masih ada fix aset yang belum dicairkan. Karena dari angka yang muncul itu justru malah bisa jadi 0 nanti. Artinya, kalau 0 itu tidak ada kerugian negara,” ujar Amin Nasution SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, ia akan melihat situasinya apakah kliennya perlu membawa saksi atau tidak. “Kalau saksi-saksi lain yang dihadirkan oleh JPU sudah bisa meyakinkan kita bisa membantu dan melepaskan klien kita, mungkin tidak perlu menghadirkan saksi,” ungkap Amin Nasution SH MH dari kantor law firm Amin Nasution and Partner yang beralamat di Jalan Siliwangi, Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel) ini.
Dijelaskannya, kliennya dikenakan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor Nomor 31 tahun 1999 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. “Kami melihat sebenarnya Pasal 55 itu kan turut serta. Turut serta sejauh mana? Jadi artinya bukan pelaku utama yang kami tangkap dari pasal tersebut, klien saya ini bukan pelaku utama. Jadi kami merasa walaupun klien kami bukan pelaku utama, turut sertanya tidak langsung. Karena sebagai marketing tugas klien saya ini mencari nasabah. Lalu nasabah dia dapat dan dia bawa ke kantor PT Askrindo,” ungkapnya.
“Lalu ke kantor PT Askrindo, dia sajikan data-datanya. Persoalan data-data itu diterima ataupun dikabulkan menjadi nasabah itu kan ada pengambil keputusan disitu. Bukan tugasnya marketing lagi. Jadi di mana keturut sertaan klien kami? Itu menjadi pertanyaan. Itu sangat mendasar dan yang pertama,” urainya.
Kedua, sambungnya, di dakwaan JPU kepada kliennya, dituduhkan kliennya mendapat gratifikasi berupa sepeda motor Harley Davidson. “Tapi satupun tidak ada satu pasal di dalam dakwaan JPU kepada klien saya,” katanya.
Menurutnya, kalau tidak ada di dakwaan JPU terkait dugaan gratifikasi, tidak bisa. “Harus ada di dalam dakwaan JPU dan di dalam fakta persidangan,” paparnya.
Ia mengharapkan tim sudah membuka fakta persidangan yang sebenarnya karena saksi yang dihadirkan hari ini dari kantor pusat PT Askrindo. “Jadi mereka cukup kapabiltas. Beda dengan saksi-saksi yang sebelumnya bersifat lokal. Kalau saksi sebelumnya berasal dari Kantor Cabang PT Askrindo. Bedalah dengan orang-orang pusat dan mereka ini betul-betul Standar Operasi Prosedur (SOP) maupun norma-norma yang ada di PT Askrindo mereka kuasai dan dihubungkan dengan fakta-fakta yang dituduhkan yaitu sangat produktif bagi para terdakwa,” tandasnya. (Murgap)