Zainal Abidin SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan Tipikor dengan Nomor Pokok Perkara 36/Pidsus/2023 dengan terdakwa mantan Direktur Utama (Dirut) PT Adhi Persada Realti (APR) Ferry Febrianto dan 4 (empat) orang lainnya didakwa dalam kasus korupsi terkait perkara dugaan Tipikor dalam pembelian bidang tanah yang dilakukan oleh PT APR pada 2012 hingga 2014 di ruang Prof Dr Kusuma Admadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin siang (04/07/2023).
Pada perkara ini, selain terdakwa Ferry Febrianto, ada juga terdakwa Anton Radiumanto Santoso, Nutul Falah Haz, Ir Shoful Ulum, dan Veronika Sri Hartati SH selaku Notaris. Para terdakwa didakwa terkait Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto (jo) Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum P.idana (KUHP)
Adapun 5 (lima) orang yang didakwa terkait kasus korupsi pembelian lahan itu adalah Ir Shoful Ulum (SU) selaku mantan Direktur Operasional (Dir Op) dan Dirut PT APR, Ferry Febrianto (FF) selaku mantan Dirut PT Adhi Persada Realti, Veronika Sri Hartati SH (VSH) selaku Notaris, Nurul Falah Haz (NFH) selaku mantan Direktur PT Cahaya Inti Cemerlang (CIC) dan Anton Radiumanto Santoso (ARS) selaku Dirut PT CIC. PT APR merupakan anak perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Adhi Karya (Persero) Tbk yang bergerak dalam bidang pembangunan property, perdagangan dan jasa.
Kasus ini bermula, PT APR melakukan pembelian tanah di Jalan Raya Limo, Cinere, Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat (Jabar), seharga Rp60.262.194.850 melalui PT CIC, yang seolah-olah telah memiliki tanah tersebut. Padahal, nyatanya tanah tersebut sama sekali bukan merupakan milik PT CIC dan sama sekali tidak dikuasai oleh PT CIC.
Pembelian tanah tersebut dilakukan tanpa adanya kajian dan melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP). Menurut dakwaan JPU yang dibacakan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, pada Senin (10/04/2023), bahwa harga yang telah dibayarkan sedianya untuk pembelian tanah seluas 20 Hektare (Ha) atau 200.000 meter persegi, namun pada kenyataannya, tanah yang diperoleh hanya 1,2 Ha atau 12.595 meter persegi dan tidak mempunyai akses jalan.
Kemudian, dengan dalih memasarkan produk pembangunan perumahan di tanah tersebut. PT APR kembali mengeluarkan dana senilai Rp26.064.872.316 yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya, sehingga total di dalam pengadaan tanah tersebut, PT APR mengeluarkan dana Rp86.327.067.166. Selain itu, proses pembayaran transaksi tersebut ternyata melalui Notaris yang diduga tidak berkompeten dan di luar wilayah kerjanya.
Selanjutnya, uang tersebut justru malah ditransfer ke rekening pribadi para terdakwa Direktur PT CIC. Peran terdakwa, FF selaku mantan Dirut PT APR menyalahgunakan wewenang dengan cara melakukan pembelian tanpa adanya persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan mengetahui status tanah belum clean and clear (bersih dan jelas) dan tidak memiliki akses jalan dan melakukan pembayaran tahap pertama sebesar Rp5 miliar.
Terdakwa SU selaku mantan Dir Op dan Dirut PT APR, diduga menyalahgunakan wewenang dengan cara membeli tanah dengan tidak melakukan analisa aspek legalitas dan aspek fisik. Kajian yang dilakukan hanya dari aspek ekonomi atau bisnis meliputi Pre-Financial Study, Feasibility Study, penaksiran harga oleh Kantor Jasa Penilai Publik atau KJPP tanpa adanya kajian aspek legalitas tanah baik oleh internal PT APR atau pihak ketiga.
Terdakwa VSH selaku Notaris, secara melawan hukum diduga ikut menjadi pihak dalam transaksi pembelian tanah antara PT CIC dan PT APR dengan menggunakan rekening bank pribadi menerima pembayaran dari PT APR untuk kemudian diteruskan kepada terdakwa NF dan terdakwa ARS. Terdakwa ARS selaku Dirut PT CIC, secara melawan hukum menjual tanah yang tidak dikuasai fisik kepada PT APR dan menerima pembayaran.
Terdakwa NFH selaku Direktur PT CIC, bersama-sama dengan terdakwa ARS dengan modus membuat surat kuasa melakukan penjualan tanah yang belum berstatus clean and clear dan tidak memiliki akses jalan kepada PT APR. Kuasa Hukum terdakwa mantan Direktur Operasional (Dir Op) dan Dirut PT APR Ir Shoful Ulum (SU), Zainal Abidin SH MH mengatakan, hari ini sidangnya terkait Tipikor yang sebenarnya bermula dari transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Dalam rangka apa? Dalam rangka melaksanakan keputusan perusahaan untuk mengembangkan biaya bisnisnya untuk dijadikan property,” ujar Zainal Abidin SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dijelaskannya, di atas lahan tersebut rencananya akan dibangun perumahan dan apartemen dan segala macam. “Ternyata, dalam perjalanannya, kita sudah sampai tahap mendapatkan petak bidang tanah seluas 18 Ha atas nama PT APR,” terang Zainal Abidin SH MH dari Kantor Law Firm Nengah Sudjana and Partner yang berlokasi di Jalan Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
Dikatakannya, ternyata tanah tersebut mau ditingkatkan statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) ada kendala karena ada complain (keluhan) dari pihak lain, bahwa tanah ini punya pihak lain. “Padahal, setelah dilakukan mediasi, tidak punya bukti juga pihak lain atas kepemilikan hak tanah tersebut,” katanya.
Pada sidang kali ini, dihadirkan 2 Ahli atas permintaan dari JPU yakni Ahli Keuangan Negara dan Ahli Pertanahan dari Staf Ahli Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan majelis hakim, JPU dan Kuasa Hukum dari masing-masing terdakwa. “Ahli di muka persidangan bilang petak bidang itu adalah syarat untuk mendapatkan SHM. Nah, di tahap itu lah kita berhenti. Kemudian, dari pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melakukan penyidikan, bahwa atas transaksi ini diduga menimbulkan kerugian keuangan negara,” paparnya.
Total kerugian negara, sambungnya, pihaknya mengaku belum mengetahui jumlahnya karena belum mendapatkan laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah Republik Indonesia (BPKP RI) yang memberikan berkas atas perkara ini. “Kami sudah minta laporan jumlah kerugian keuangan negara kepada JPU, namun belum diberikan. Jadi pada Senin (10/07/2023) saksi dari BPKP RI akan dihadirkan di muka persidangan. Tapi di sini yang menjadi persoalan penting sebenarnya, bahwa berdasarkan keterangan Ahli Keuangan Negara yang menyatakan, bahwa anak perusahaan BUMN adalah BUMN. Kerugian BUMN adalah kerugian keuangan negara. Nah, ini tadi kita berdebat karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa anak perusahaan BUMN itu bukan BUMN. Bahkan, di dalam UU BUMN itu sendiri dengan tegas menyatakan, anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN,” tegasnya.
Disebutkannya, kalau semua konsepnya adalah kerugian anak perusahaan BUMN adalah kerugian negara, maka untuk apa dibuat koorporasi yang tunduk kepada UU Perseroan Terbatas (PT) dan kemudian ada doktrin tentang Badan Hukum, itu di kemanakan. “Kita harus pilah-pilah. Jadi tadi saya tanya, kasnya anak perusahaan BUMN apakah kas negara? Ahli bilang itu kas negara. Berarti kita kalau bertransaksi harus ke kas negara dong. Nyatanya dan prakteknya kan tidak seperti itu,” paparnya.
“Bahwa tiap anak perusahaan BUMN punya kas sendiri untuk digunakan biaya operasional perusahaannya sendiri. Kecuali BUMN dalam tindakannya melanggar hukum. Tapi ketika melakukan suatu kebijakan bisnis sudah disepakati melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh komisaris dan direksinya yang melaksanakan keputusan perusahaan bukan keputusan pribadi,” tuturnya.
Dijelaskannya, ketika di dalam pelaksanaan itu ada suatu kendala, belum terjadi kerugian negara, baru berpotensi ke arah kerugian negara, tapi secara keseluruhan badan hukum ini perusahaan dapat untung. “Ketika dijabat oleh direksi sekarang ini dari hasil laporan keuangannya untung bukan merugi. Tapi Ahli Keuangan Negara bilang itu secara umum tapi harus per transaksi dihitungnya. Jadi misalnya, ada bisnis planning A, B, C, dan D. Si A merugi dianggap kerugian negara. Nah ini kan yang menjadi perdebatan. Harusnya menjadi kerugian perusahaan kalau merugi bukan kerugian negara,” ungkapnya.
“Keterangan dari Ahli Pertanahan sudah clean and clear (bersih dan jelas) melalui proses pelepasan haknya dari pemilik tanah kepada pembeli tanah yakni PT APR. PT APR ini anak perusahaan BUMN. Itu sudah benar dan clear. Hanya, artinya tidak bisa akan terbit lagi petak bidang atas nama subyek hukum lain atau nama PT atau perorangan lain. Sudah tidak bisa dan sudah dikunci di situ,” terangnya.
Artinya, sambungnya, sebenarnya sudah benar, belum ada kerugian negara. “Artinya, pembeli masih bisa meningkatkan upaya menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) karena ini perusahaan,” tuturnya.
Diakuinya, keterangan Ahli Keuangan Negara di muka persidangan ada perbedaan persepsi dengan pihaknya. “Kalau semua dikaitkan dengan keuangan negara dan kerugian negara, berarti repot dong pertanggungjawabannya. Harus diselesaikan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI karena keuangan negara tunduk kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” tukasnya.
“Harus dipilah-pilah karena negara ini sebagai Badan Hukum Publik dan juga sebagai Badan Hukum Privat. Ketika Badan Hukum Publik, negara memberikan pelayanan publik untuk mensejahterakan rakyat, dan memberikan kesehatan kepada masyarakat. Ini publik atau public service. Tetapi ketika memberikan upaya-upaya untuk mendapatkan profit atau keuntungan buat negara, itu sebagai Badan Hukum Privat. Tidak bisa bertindak sendiri,” urainya.
Makanya, imbuhnya, dibuatlah BUMN untuk mewakili negara dalam mendapatkan profit atau keuntungan. “Luas tanahnya sebesar 20 Ha. Ini kan 2 petak bidang luasnya 18 Ha,” terangnya.
Dikatakannya, perkara ini kejadiannya di daerah Cinere, Depok, Jabar. “Keterangan kedua Ahli di persidangan yang dihadirkan oleh JPU tentu saja banyak hal-hal yang tidak menguntungkan bagi klien saya. Buat kami hal itu wajar. Namanya Ahli itu harus bersifat obyektif berdasarkan teori dan doktrin serta peraturan perundangan yang berlaku,” paparnya.
“Jadi ada beberapa keterangan Ahli yang saya koreksi. Misalnya, BUMN tidak tunduk pada UU PT dan itu salah. Ada putusan MK mewajibkan dan bahkan di UU BUMN sendiri menyatakan. BUMN tunduk pada UU PT. Ada beberapa hal dari keterangan Ahli yang harus dikoreksi,” tegasnya.
Agenda sidang sslenjutnya akan menghadirkan Ahli dari BPKP RI oleh JPU. “Kalau kami belum menghadirkan Ahli. Saya Kuasa Hukum dari salah satu direksi terdakwa Shoful Ulum yang pernah jadi Dir Op PT APR dan kemudian naik jabatannya jadi Dirut PT APR periode 2012 hingga 2014, dan terjadi transaksinya pada tahun 2012 hingga 2014,” ungkapnya.
Ia mengharapkan tidak semua kasus adalah korupsi, ada juga karena transaksi bisnis, dan ada juga kerugian karena perhitungan bisnis dan itu pertanggungjawabannya UU PT. “Walaupun saya ini adalah orang yang paling getol dalam menyuarakan pemberantasan Tipikor. Direksi harus bertanggung jawab secara pribadi dengan aset-asetnya untuk mengembalikan kerugian perusahaan bukan diterapkan dengan UU Tipikor,” tuturnya.
Dakwaan JPU, sambungnya, kliennya dikenakan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. “Pasal 2 dan 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor terkait adanya dugaan penyalahgunaan jabatan dan ada juga menguntungkan orang lain atas perbuatannya. Terdakwanya dalam.perkara ini ada lima orang yakni 2 orang dari PT APR, terus dari pihak penjualnya ada 2 orang dan seorang Notaris bernama Veronika SH,” paparnya.
Dikatakannya, saksi dan Ahli masih yang menghadirkan dari pihak JPU. “Kami belum menyiapkan saksi yang meringankan atau saksi Ad-Charge,” tandasnya. (Murgap)