Aristo Yanuarius Seda SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar sidang lanjutan ke-10 (sepuluh) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan terdakwa Direktur Utama (Dirut) PT Jiwasraya Benny Tjokro (BenTjok) dan Heru Hidayat antara pemohon yakni nasabah dan termohon Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakpus dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) di ruang Ali Subrata, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa siang (30/03/2021).
Pada persidangan kali ini, Kuasa Hukum dari pihak pemohon salah satu pihak nasabah PT Jiwasraya, Aristo Yanuarius Seda SH mengatakan, hari ini agenda sidangnya adalah menyampaikan bukti tambahan dari pihak pemohon bersama termohon, dalam hal ini Kejagung, Kejari Jakpus, Kemenkeu RI, sehubungan dengan bukti-bukti terdahulu yang dipending (ditunda) dan hari ini diajukan bukti tambahan lagi. “Rencana sidang selanjutnya yakni pada Rabu (07/04/2021), kami akan menghadirkan di persidangan saksi fakta. Namun, dikasih kesempatan untuk menyelesaikan bukti surat, baru kemudian, dilanjutkan oleh Majelis Hakim PN Jakpus, agar pemohon mengajukan saksi fakta,” ujar Aristo Yanuarius Seda SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Pada persidangan sebelumnya yang ke-9 (sembilan), pada Rabu (24/03/2021), PN Jakpus menggelar sidang lanjutan kasus perkara Tipikor dengan terdakwa Dirut PT Jiwasraya Benny Tjokro dan Heru Hidayat di ruang Wirjono Projodikoro 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, yang dimulai molor dari jadwal persidangan yakni sore hari hingga malam hari, yang seharusnya sidang dimulai pada pagi hari. “Kita dari pukul 09.00 WIB sudah berada di PN Jakpus. Kemudian, sidang baru dimulai pada pukul 13.30 WIB. Jadi molor sidangnya. Jadi para pemohon yang sudah membawa saksi fakta dari pagi sampai malam hari ini sangat merepotkan ya. Hanya kami tidak mengajukan saksi fakta hari ini,” ujar Aristo Yanuarius Seda SH kepada wartawan Media Nasional.Co ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, pihaknya hanya mengajukan bukti tambahan dari pihak pemohon dan dari pihak termohon membawa bukti tambahan juga. “Agenda sidang selanjutnya, pada Rabu (07/04/2021), kita akan mengajukan saksi fakta yakni broker atau sales dari Training Securitas dan Imacorindo yang akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan transaksi saham di persidangan,” katanya.
Pasalnya, sambungnya, dari keterangan peneliti dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang paling tahu apakah nasabah masuk nomine atau tidak, sebenarnya broker. “Jadi kuncinya ada di broker. Jadi dari mana dia tahu dia mendebit dari Nomor rekening (Norek) dari nasabah itu untuk melakukan pembelian lembar saham atas instruksi dari pemohon, disitu akan tahu dari keterangan broker di persidangan,” ungkapnya.
“Apakah uang dari pihak ke- 3 (tiga) atau dari pihak lain, bukan pemberi instruksi? Itu akan ketahuan dari penjelasan broker. Kalau kita ajukan saksi-saksi fakta lain akan sulit,” tegasnya.
Apalagi, imbuhnya, dari pihak pemohon yang menggunakan pasar reguler by sistem yang tidak ketahuan siapa pembeli dan penjual. “Bagaimana bisa dibilang nomine? Karena tidak ada komunikasi yang intensif. Semua by sistem,” paparnya.
“Bukti tambahan yang kita ajukan ke persidangan kali ini berkaitan dengan kontrak lot, financial report (laporan keuangan), pembukaan blokir SID, dari pihak OJK,” terangnya.
Kenapa diajukan bukti tambahan, imbuhnya, dari dahlil Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri menyebutkan, bahwa SID itu alat bukti untuk melakukan kejahatan. “Kemudian, OJK sendiri sudah membuka blokir nomor rekening SID. Nah, dengan pembukaan blokir Norek SID itu masih dianggap sebagai alat bukti kejahatan kah?” tanyanya heran.
“Blokir Norek SIDnya sudah dibuka tapi nilai sahamnya dinolkan. Kemudian, para pemohon bisa melakukan transaksi tapi apa iya dengan nilai saham 0 (nol)? Uangnya sudah tidak ada di dalam nomor rekening nasabah dan sudah dipindahkan pembukuan ke pihak Kejagung. Di sinilah letak kerugian kita,” paparnya.
Disebutkannya, kalau itu semua terkait sahamnya dengan terdakwa Benny Tjokro dan Heru Hidayat yakni Mirex dan RAM, lalu bagaimana dengan saham-saham nasabah lain yang sama sekali tidak terkait dengan perbuatan para terdakwa dalam nilai dananya. “Apakah itu layak untuk dirampas dari perspektif hukum pidana? Karena sementara, saham, obligasi, dan reksadana dan lainnya yang disita tidak ada sama sekali hubungannya dengan Benny Tjokro dan Heru Hidayat,” urainya.
“Itu kan merugikan sekali bagi para nasabah. Lalu kenapa dalam proses keberatan itu, JPU mau membuktikan ke kita, kita sebagai terdakwa juga. Kita sudah terlebih dahulu dijatuhi hukuman dengan perampasan, yang mana menurut ilmu hukum, harus dibuktikan dengan pokok perkara soal kebenaran materinya,” jelasnya.
Menurutnya, bukan di materi keberatannya. “Sementara, di keberatan, kami ingin membuktikan, bahwa kami pihak ketiga ini beritikad baik dalam perolehan saham dan semuanya melalui proses hukum,” terangnya.
“Soal jual beli saham dan lainnya, kalaupun itu dianggap tindak pidana, harus bisa dibuktikan, bagaimana perbuatan pembelian saham itu dianggap sebuah tindak pidana? Seperti tadi yang disampaikan oleh Ahli Prof Dr Alder Manurung SH MH, mengatakan, seseorang dibilang nomine, kalau hanya berdasarkan laporan OJK berdiri sendiri, tanpa diikuti oleh dokumen-dokumen lainnya atau tanpa ada keterangan saksi lainnya, oh ini diduga sebagai nomine karena ada aliran transaksi dengan terdakwa. Itu bisa,” ujarnya.
Namun, sambungnya, kalau tidak ada itu semua, cukuplah dengan alat bukti sendiri tanpa ada alat bukti pendukung oleh alat bukti lain. “Padahal, di dalam hukum pidana pokok, harusnya dibuktikan alat bukti materinya atau faktanya,” ungkapnya.
Ia mengaku sejalan dengan keterangan Ahli Prof Dr Alder Manurung SH MH yang menyebutkan, kalau dibilang nomine harus diketahui di mana letak keterkaitan dengan nomine. “Jadi tidak bisa hanya asumsi-asumsi saja,” katanya.
Ia menilai, dengan kondisi adanya pemblokiran nomor rekening nasabah PT Jiwasraya oleh Kejagung secara serampangan, maka implikasinya para investor trauma untuk melakukan transaksi di pasar saham. “Ini berdampak pada ekonomi bangsa dan lain-lain. Para investor lari dari pasar modal,” tuturnya.
“Mudah-mudahan dengan adanya pembuktian yang seperti ini dan maksimal, Majelis Hakim PN Jakpus benar-benar bisa terbuka, untuk memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya,” tandasnya. (Murgap)