Burmalis Ilyas
Jakarta, Madina Line.Com – Dosen Hubungan Internasional Universitas Nasional (Unas), praktisi dan pelaku usaha Burmalis Ilyas mengatakan, acara Kongres Ekonomi Umat 2017 yang mengambil tema Arus Baru Ekonomi Indonesia yang digelar oleh Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Grand Sahid, Jakarta, sejak Sabtu pagi (22/04/2017) hingga Senin siang (24/04/2017) diharapkan ada kebangkitan umat Islam di bidang ekonomi, dan ditargetkan ada kedaulatan ekonomi umat.
“Artinya, mayoritas bangsa Indonesia pemegang saham terbesar dan bangsa Indonesia harus mendapatkan kue ekonomi yang selayaknya sesuai dengan besarnya jumlah umat Islam di Indonesia. Saat ini kita bisa melihat terjadi ketimpangan yang sangat luar biasa, hanya 3% hingga 5% segelintir orang yang menikmati dan memiliki sekitar 70% hingga 80% kue ekonomi atau aset ekonomi. Jadi ini sebuah ketimpangan ekonomi di Indonesia yang perlu kita ubah dan perbaiki,” kata Burmalis Ilyas kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di acara Kongres Ekonomi Umat 2017 ini di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu malam (23/04/2017).
Dikatakannya, dalam konteks ini, maka diharapkan ada perubahan ke depan. “Caranya bagaimana? Caranya menurut saya, ada 2 (dua) pihak, pertama, umat Islam itu sendiri. Umat Islam itu sendiri harus maju dan memiliki jiwa enterpreneur (wirausaha) yang tinggi, mental bisnis yang tinggi dan mau berusaha serta mau menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, bukan malah mencari lapangan pekerjaan dan menjadi produsen bukan menjadi konsumen. Itu dari umat Islamnya,” katanya.
“Kedua, dari sisi pemerintahnya. Saya mengharapkan Pemerintah Indonesia harus berpihak kepada umat Islam. Dalam artian, kue-kue pembangunan harus dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam sebagai bagian besar dari bangsa ini. Caranya bagaimana? Tentu dengan membuat kebijakan-kebijakan yang pro umat Islam, kebijakan yang pro usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), karena umat Islam sebagian besar berusaha UMKM,” terangnya.
Kemudian, sambungnya, aset kredit pembiayaan-pembiayaan, umat Islam harus lebih dipermudah dan tidak dipersulit karena sebagian besar umat Islam tidak memunyai aset berharga. “Ini bagaimana caranya dan membuat skema pembiayaannya seperti apa Pemerintah Indonesia untuk ke depan?” tanyanya.
“Perlu juga Pemerintah Indonesia menggalakkan pembiayaan-pembiayaan syariah kepada umat Islam dan lebih dikembangkan lagi karena pembiayaan syariah ini ketika terjadi krisis ekonomi, lebih bertahan terhadap krisis ekonomi,” katanya.
Menurutnya, umat Islam sendiri juga harus berubah dan mulai belajar mengakses pembiayaan syariah itu sendiri. “Memang saat ini pembiayaan syariah belum dikenal oleh masyarakat Islam. Tetapi pelan-pelan umat Islam harus mulai melirik kepada perbankan-perbankan syariah,” tegasnya.
“Forum Alumni Mahasiswa Minang (FAMM) juga sudah bekerjasama dengan MUI dalam Kongres Ekonomi Umat 2017 ini dalam acara talkshow. Umat Islam harus memulai belajar bagaimana membuka peluang usaha dengan cara bekerjasama dengan perbankan-perbankan syariah.. Memang dalam hal ini harus ada keberpihakan Pemerintah Indonesia untuk bagaimana bisa meningkatkan taraf ekonomi umat Islam,” ungkapnya.
Ia mengatakan, konsep perbankan syariah ini lebih kepada kedua belah pihak diuntungkan. “Berbeda dengan perbankan konvensional, untung tidak untung tetap untung. Bahkan, kalau pengusahanya tidak kuat bayar bunga bank dari pinjaman yang dipinjam, semua aset usahanya disita, itu berbeda konsepnya dengan yang diterapkan oleh perbankan syariah. Perbankan syariah tidak seperti itu karena perbankan syariah lebih terjun langsung dalam melihat perusahaannya dalam bekerja,” tukasnya.
“Perlu saya tekankan di sini, harus ada keberpihakan dari Pemerintah Indonesia terhadap umat Islam di Indonesia mengenai kemudahan akses pembiayaan syariah ini karena bagaimana pun juga umat Islam itu sendiri punya semangat dalam bekerja dan berusaha tetapi kalau untuk mendapatkan bantuan modal usaha susah alias gigit jari juga,” katanya.
Makanya, sambungnya, dengan digelarnya acara ini diharapkan umat Islam juga sudah terbiasa dengan penggunaan kartu elektronik uang atau E-Money yang ada di perbankan-perbankan syariah guna melek teknologi informasi (IT) yang sudah sangat canggih dan maju. “Mencoba membuka usaha-usaha digital dan online karena memang sekarang ini eranya sudah serba digital dan online. Jadi umat Islam harus sudah terbiasa dengan cara-cara berbisnis seperti itu,” pesannya.
“Jadi tidak hanya membuka usaha yang offline saja tetapi juga bisa meng-combine (mengombinasikan) dengan usaha sistem digital dan online. Umat Islam juga harus maju mengikuti trend penggunaan IT saat ini dan tidak tenggelam arus globalisasi,” katanya.
Artinya, sambungnya, umat Islam harus mengikuti perkembangan zaman. “Apalagi, saat ini ada pasar bebas atau free market. Dalam konsep kapitalis itu free market kejam. Kejamnya free market itu kalau kita lagi susah, kadang-kadang ketika membutuhkan dana, mau tidak mau orang itu harus menjual aset berharganya dengan sangat murah sekali. Kalau free market itu peluang seseorang menjadi orang kaya, membeli dengan harga murah,” jelasnya.
“Dalam konteks Islam, suka sama suka. Jadi tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan. Ketika dia menjual aset berharganya di masa darurat, dan tidak menjual aset berharganya dengan harga yang murah dan kepada umat Islam, kalau memunyai modal, jangan pernah membeli aset di harga yang tidak manusiawi. Itu yang dimaksud dengan konsep bisnis dalam berdagang yang manusiawi,” katanya.
Ia menjelaskan, umat Islam berbisnis bukan hanya untuk mencari keuntungan (profit oriented) semata saja tapi juga bagaimana bisa memunyai manfaat kepada orang lain atau rahmatan lil alamin dari usahanya tersebut. “Saya melihat umat Islam belum terbiasa menggunakan akses ke perbankan syariah. Artinya, memang ada argumentasi dari ulama dengan kata Mubah (dilakukan mendapat pahala dan apabila tidak dilakukan tidak berdosa) atau masih samar-samar, maka saya mengharapkan tingkat suku bunga di perbankan jangan terlalu tinggi. Memang perbankan itu hidupnya dari bunga, namun jangan berkali lipat atau terlalu tinggi untuk umat Islam,” terangnya.
“Kalau dibandingkan dengan suku bunga di perbankan negara luar, suku bunga perbankan di Indonesia relatif sangat besar,” katanya.
Ia mengakui dalam mengakses kredit di perbankan syariah hingga hari ini tidak mudah. “Jadi saya mengharapkan perbankan syariah memunyai politic will (keberpihakan) bagi umat Islam berekonomi lemah yang ingin berusaha dan bagi umat Islam juga harus jujur dalam berusaha. Umat Islam berekonomi lemah ini sudah susah jadi jangan dipersulit lagi dalam mengakses kredit dari perbankan syariah karena kalau ketidakadilan ekonomi tetap berlanjut, maka akan terjadi ketidakadilan sosial dan ujung-ujungnya akan terjadi ketidakstabilan politik. Artinya, ekonomi juga akan rusak dan akan berdampak negatif kepada semuanya. Jadi jangan hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar dan pemerataan ekonomi tidak ada. Harus ada keseimbangan ekonomi tumbuh. Pertanyaannya, siapa pihak yang menikmati dari pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini? Pemerataan ekonomi harus menjadi yang utama tujuan dari pertumbuhan ekonomi nasional,” tandasnya. (Murgap)