Salim Halim SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Tim Pengurus pihak Pemohon yakni PT Sankyu Indonesia International menggelar rapat Pembuatan Kebijakan Penangguhan Utang (PKPU) ke-5 (lima) dengan pihak Termohon yakni PT Pelayaran Payung Samudera (PPS) selaku pihak Debitur dan pihak Kreditur lain yakni PT SMFL leasing Indonesia di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at pagi (16/04/2021).
Pada persidangan kali ini, diketuai oleh Hakim PN Jakpus Makmur SH MH dan dihadiri oleh pihak
Debitur PT PPS dan pihak Kreditor lain PT SMFL leasing Indonesia dan dihadiri oleh Pengurus PKPU PT Sankyu Indonesia International yakni Dita Nadya Chaidir SH MH. Kuasa Hukum dari pihak Debitur PT PPS, Salim Halim SH MH menjelaskan, permasalahan terkait PKPU PT Sankyu Indonesia International, PT Sankyu mendapatkan pekerjaan pengangkutan kayu dari Kalimantan ke Palembang melalui laut dari PT
Tanjung Enim Lestari (PT TEL).
“Karena pekerjaan ini, PT Sankyu menawarkan kerjasama kepada PT PPS yang memang bergerak di bidang jasa pengangkutan laut untuk mengerjakan proyek tersebut yang diklaim PT Sankyu sebagai proyek jangka panjang yang disebut juga sebagai proyek “ACACIA”,” ujar Salim Halim SH MH kepada wartawan Media Nasional.Co ketika ditemui usai acara rapat PKPU ini.
Dikatakannya, awalnya PT PPS menolak kerjasama tersebut karena PT PPS tidak memiliki armada kapal ukuran besar yang dapat mengakomodir pekerjaan tersebut, namun setelah negosiasi yang diinisiasi oleh PT Sankyu, PT PPS
akhirnya menyetujui kerjasama dengan PT Sankyu dengan syarat, pertama, PT Sankyu yang akan membantu proses pembelian 3 (tiga) unit kapal tongkang untuk proyek tersebut melalui leasing dengan PT SMFL leasing Indonesia (SMFL). “Kedua, PT Sankyu menjamin kepada PT PPS, bahwa proyek akan berlangsung selama 5 (lima) tahun dan ketiga, cicilan leasing akan dibayar oleh PT Sankyu melalui pemotongan tagihan dari PT PPS,” paparnya.
Setelah disepakati, sambungnya, maka mulailah kerjasama antara PT Sankyu dan PT PPS. “Namun, kurang dari 2 (dua) tahun, PT Sankyu tidak dapat memberikan pekerjaan pengangkutan kayu akibat dari pemutusan kontrak kerja oleh PT TEL. Hal ini berdampak pada mangkraknya kerjasama yang berlangsung antara PT Sankyu dan PT PPS,” jelasnya.
“Namun, atas dasar kesepakatan yang disanggupi oleh PT Sankyu, maka PT Sankyu bersedia bertanggung jawab
dan tetap membayar cicilan leasing melalui pemotongan tagihan dari PT PPS, walaupun tidak terjadi pekerjaan
pengangkutan kayu,” terangnya.
Selang 1 (satu) tahun setelah pembayaran tersebut, imbuhnya, terjadi pergantian Direksi PT Sankyu, yang kemudian keberatan terhadap pembayaran cicilan leasing tersebut. “PT Sankyu kemudian tanpa dasar menagih hak milik ketiga kapal tongkang tersebut dari PT PPS dengan alasan PT Sankyu yang telah membayar sebagian besar cicilan kapal tersebut,” ungkapnya.
Dijelaskannya, PT Sankyu mengklaim telah membayar sebesar USD4,494,928.53 untuk pembayaran cicilan leasing. “Klaim ini jelas mengada-ada, karena cicilan leasing yang dibayarkan PT Sankyu merupakan uang PT PPS yang dipotong PT Sankyu berdasarkan tagihan yang disetujui oleh PT Sankyu, sehingga cicilan leasing tersebut akhirnya dibayarkan melalui PT Sankyu bukan oleh PT Sankyu,” terangnya.
“Pemotongan tagihan PT PPS yang dilakukan oleh PT Sankyu adalah sebesar USD3,189,714.18, sedangkan pembayaran cicilan sebesar USD1,305,214.35 dilakukan oleh PT Sankyu tanpa nota tagihan atas permintaan PT Sankyu untuk menghindari pajak,” urainya.
Dikatakannya, PT Sankyu kemudian melakukan somasi sebanyak 2 (dua) kali kepada PT PPS melalui Kuasa Hukumnya agar PT PPS membayar kembali USD4,494,928.53 kepada PT Sankyu. “Lalu pada bulan Desember 2020, PT Sankyu mengajukan permohonan PKPU terhadap PT PPS di Pengadilan Niaga pada PN Jakpus. Dari permohonan PKPU tersebut, Majelis Hakim PN Jakpus memutuskan untuk mengabulkan permohonan PKPU
dalam pertimbangannya sebagai berikut; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat T-1 sampai dengan T-110 yang merupakan Bukti pembayaran angsuran atas 3 (tiga) unit kapal tongkang dan dihubungkan
dengan jawaban Termohon PKPU yang menyatakan, bahwa Termohon PKPU yang melakukan pembayaran
angsuran atas 3 (tiga) unit kapal tongkang kepada PT SMFL leasing Indonesia melalui pemotongan dari Nota Tagihan biaya angkutan kapal kepada Pemohon PKPU dengan jumlah yang terpotong sebesar USD3.189.714,18 dan sisanya sebesar USD1.305.214,35 dibayar oleh Pemohon PKPU, dengan demikian, pihak Termohon PKPU mengakui ada kewajiban utang kepada Pemohon PKPU sebesar USD1.305.214,35,” ungkapnya.
“Bahwa dari pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim PN Jakpus yang tersebut di atas terdapat kekeliruan yang fatal dan tidak berdasar, yang mana menjustifikasi Termohon PKPU (PT PPS) mengakui utang
sebesar USD1.305.214,35, padahal faktanya tidak pernah mengakui utang,” katanya.
Menurutnya, Termohon PKPU (PT PPS) menyatakan, sisanya sebesar USD1.305.214,35 dibayar oleh pemohon PKPU kepada PT SMFL leasing Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam pertimbangan hakim yang tersebut di atas. “Majelis Hakim PN Jakpus mengkonversikan menjadi mengakui utang yang tidak berdasar sama sekali. Bahwa selanjutnya tahap verifikasi Pemohon PKPU (PT Sankyu) tetap mengajukan Tagihan sebesar USD4.494.928,53 yang tanpa dasar dan sampai saat ini juga memertahankan tagihan tersebut sebesar nilai itu,” jelasnya
“Lalu kemudian, dilakukan pencocokan utang oleh Pengurus PKPU yang kemudian diakui oleh
Pengurus atau Kurator hak tagih PT Sankyu sebesar USD3,248,157.30 kepada PT PPS, yang menurut kami tidak berdasar dan kami keberatan dan menolak,” tegasnya.
Hingga saat ini, sambungnya, masih dilakukan pembahasan atas nilai tagihan tersebut karena masih terdapat keberatan antara pihak PT Sankyu dan PT PPS, sehingga belum tercapainya kesepakatan. “Permasalahan terkait PT SMFL leasing Indonesja (SMFL), pada tanggal 8 Oktober 2013, PT PPS melakukan perjanjian sewa guna usaha (leasing) atas 3 unit kapal tongkang (Voyage I, Voyage II, dan Voyage III) dengan SMFL atas rekomendasi dari PT Sankyu dengan jangka waktu pembayaran cicilan selama 60 (enam puluh) bulan (5 tahun). Telah disepakati, bahwa pembayaran cicilan akan dilakukan melalui PT Sankyu sampai lunasnya cicilan tersebut,” katanya.
“Namun, karena terjadi wanprestasi oleh PT Sankyu, pembayaran cicilan leasing selama setahun terakhir
dilakukan langsung oleh PT PPS tanpa perantara PT Sankyu lagi. Oleh karena adanya wanprestasi oleh PT Sankyu, timbul tunggakan denda yang ditagih PT SMFL leasing Indonesia kepada PT PPS dan telah dilunasi semuanya,” terangnya.
Setelah lunas cicilan pokok dan semua tunggakan denda, sambungnya, pada tanggal 19 Januari 2021, PT PPS meminta bukti lunas dari PT SMFL leasing Indonesia, yang disanggupi, namun meminta waktu dengan alasan Direksi SMFL leasimg Indonesia tidak berada di Indonesia dan baru akan diberikan kepada PT PPS di bulan Februari 2021. “Namun, hingga saat ini, PT SMFL leasing Indonesia belum memberikan bukti pelunasan tanpa ada alasan yang jelas. Pada tanggal 19 Januari 2021, PT SMFL leasing Indonesia hadir dalam persidangan PKPU dan mengaku sebagai kreditor lain,” tanyanya heran.
“PT SMFL leasing Indonesia membawa tagihan sebesar USD1,117.83 yang tidak ditagihkan langsung kepada PT PPS oleh PT SMFL leasing Indonesia sebelumnya, namun telah dibayar oleh PPS pada tanggal 19 Januari 2021 di pagi hari,” katanya.
Menurutnya, PT SMFL leasing Indonesia dengan itikad tidak baik membawa surat tagihan denda USD1,117,83 yang sebelumnya tidak pernah tagih ke PT PPS, namum langsung tagih ke persidangan PKPU oleh yang bernama Wira yang tanpa dilengkapi Surat Kuasa dari direksi dan itupun yang ditagih telah dilunasi oleh PT PPS sebelumnya. “Pada tanggal 15 Februari 2021, PT PPS melalui Kuasa Hukumnya melakukan somasi kepada PT SMFL leasing Indonesia agar segera mengembalikan grosse akta 3 unit kapal tongkang yang telah dilunasi cicilannya oleh PT PPS. PT SMFL leasing Indonesia menanggapi somasi PT PPS di tanggal 18 Februari dengan menyatakan, bahwa PT PPS belum memilih hak opsi membeli barang modal dan oleh karena itu, mewajibkan PT PPS untuk mengembalikan 3 unit kapal tongkang tersebut kepada PT SMFL leasing Indonesia,” akunya.
“Hal ini dibawa ke dalam pembahasan tagihan PKPU PT PPS. PT SMFL leasing Indonesia sudah tidak membawa tagihan awal yang diklaim saat sidang PKPU, melainkan memasukan pengembalian barang modal 3 unit kapal tongkang sebesar USD4,702,500 sebagai tagihan,” jelasnya.
Pengurus PKPU kemudian menerima dan mengakui tagihan yang diajukan oleh PT SMFL leasing Indonesia dengan alasan PT PPS tidak memberikan surat pernyataan pemilihan hak opsi membeli barang modal. “PT PPS telah mengajukan keberatan dalam hal ini karena di awal perjanjian telah ditanda tangani perjanjian yang salah satu ketentuannya menyebutkan, bahwa PT PPS memastikan dan menjamin akan melaksanakan hak opsi membeli barang modal dan PT SMFL leasing Indonesia dapat mengompensasi pembayaran hak opsi tersebut dengan security deposit yang telah disetor oleh PT Sankyu pada awal perjanjian sebagaimana diatur dalam perjanjian lease Agreement pasal 21 dan lampiran butir 17 hurf (f),” urainya.
“Dalam rapat kreditor juga telah PT PPS ungkapkan, bahwa seandainya (quadnon) PT PPS belum memilih hak
opsi, maka PT PPS meminta agar PT SMFL leasing Imdonesia menunjukkan Bukti Lunas (bukti lunas sampai saat ini belum
diberi) PT PPS agar dapat dihitung periode pemilihan hak opsi barang modal tersebut dan apabila PT PPS
melewati batas periode pemilihan hak opsi, PT SMFL leasing Indonesia harusnya melakukan somasi terlebih dahulu terhadap PT PPS sesuai ketentuan pasal 1238 Kitab Undang-Undamg Hukum Perdata (KUHPerdata),” katanya.
“Bahwa PT SMFL leasing Indonesia mengaku sebagai Kreditur dengan alasan PT PPS belum memilih Hak Opsi membeli barang modal dan minta 3 (tiga) kapal Tongkang dikembalikan dengan tagihan nilai USD4.700.000.00, padahal PT PPS telah memilih Hak Opsi membeli barang modal di awal perjanjian dan telah melunasi 1 (satu) dolar Amerika Serikat (AS) sesuai dengan kesepakatan. Jika seandainya belum memilih Hak Opsi membeli (Quadnon), PT SMFL leasing Indonesia secara hukum harus memberi somasi kepada PT PPS sesuai dengan pasal 1238 KUHPerdata untuk memenuhi Wanptestasi, namun tidak dilakukan PT SMFL leasing Indonesia dan juga sampat saat ini, PT SMFL leasing Indonesia tidak memberi Bukti Lunas kepada PT PPS, walaupun telah diminta beberapa kali,” ungkapnya.
Menurutnya, syarat untuk memilih Hak Opsi membeli barang modal sebagaimana diatur dalam pasal 21 dalam perjanjian leasing Harus Telah Lunas Cicilan. “Oleh karena itu, PT SMFL leasing Indonesia tidak punya Kompetensi duduk sebagai Kreditur dalam PKPU Tetap,” tandasnya. (Murgap)